Partai politik perlu memiliki komitmen yang bersih pula saat mengusung calon kepala daerah ...
Semarang (ANTARA) - Pada 20 September 2017, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang menjatuhkan hukuman 11 tahun penjara terhadap mantan Bupati Klaten, Jawa Tengah, Sri Hartini.

Mantan orang nomor satu di Kabupaten Klaten tersebut dihukum dalam kasus jual beli jabatan serta potongan fee atas dana bantuan keuangan desa di kabupaten tersebut.

Sri Hartini yang dicokok dalam operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu terbukti menerima suap dalam pengisian Satuan Organisasi Tata Kerja (SOTK) di Kabupaten Klaten dengan total rasuah Rp2,9 miliar.

Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 6 April 2020, giliran eks Bupati Kudus M. Tamzil dijatuhi hukuman 8 tahun bui oleh Pengadilan Tipikor Semarang.

Tamzil tersangkut dalam tindak pidana korupsi dengan modus yang sama, yakni terkait dengan mutasi jabatan di Pemerintah Kabupaten Kudus.

Dalam perkara tersebut, mantan orang nomor satu di Kabupaten Kudus itu terbukti menerima suap dari Pelaksana Tugas Sekretaris Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Kudus, Akhmad Shofian, yang totalnya mencapai Rp750 juta.

Hukuman terhadap Tamzil tersebut merupakan yang kedua dalam tindak pidana korupsi, setelah sebelumnya juga dihukum pada 2015.

Dua kasus tersebut ternyata tidak membuat jera kepala daerah. Suap terhadap kepala daerah di Jawa Tengah pun kembali terulang.

Kini giliran Bupati Non-aktif Pemalang Mukti Agung Wibowo yang diadili dalam kasus dugaan jual beli jabatan di lingkungan pemerintah kabupaten itu.

Mukti Agung Wibowo didakwa menerima suap dan gratifikasi terkait dengan promosi dan mutasi jabatan di lingkungan pemerintah daerah tersebut yang totalnya mencapai Rp7,57 miliar.

Mukti mendapat setoran uang syukuran dari empat bawahannya, yakni Penjabat Sekda Pemalang Slamet Masduki, Kepala BPBD Pemalang Sugiyanto, Kepala Dinas Kominfo Pemalang Yanuarius Natbani, serta Kepala Dinas PUPR Pemalang Muhammad Saleh.

Dari keempat pejabat tersebut, total uang syukuran yang disetorkan kepadanya mencapai Rp909 juta.

Adapun besaran uang yang diberikan masing-masing, dari Slamet Masduki sebesar Rp234 juta, terdakwa Sugiyanto sebesar Rp240 juta, terdakwa Yanuardi Narbani sebesar Rp350 juta, dan terdakwa Muhammad Saleh sebesar Rp100 juta.

Setoran tersebut terdiri atas uang syukuran atas promosi atau mutasi jabatan pejabat eselon 2 dan 3, maupun uang bantuan untuk operasional Bupati Pemalang.

Dari ketiga kepala daerah tersebut, pemberian suap oleh para pejabat di bawahnya bermotif sama, yakni agar yang bersangkutan ditempatkan pada jabatan tertentu atau jangan sampai posisi yang dijabatnya beralih ke orang lain.

Tak hanya di tingkat kepala daerah, praktik jual beli jabatan di Jawa Tengah juga merambah ke tingkat desa.

Di Kabupaten Demak, delapan kepala desa di Kecamatan Gajah diadili di Pengadilan Tipikor Semarang karena suap dalam proses seleksi perangkat desa di daerah tersebut.

Kedelapan kades tersebut menerima suap dari para calon perangkat desa yang akan mengikuti seleksi.

Uang tersebut selanjutnya digunakan untuk menyuap panitia seleksi ujian calon perangkat daerah dari Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang agar calon titipannya lulus dalam ujian.

Kedelapan kepala desa, yaitu Kades Gedangalas Turmuji, Kades Jatisono Purnomo, Kades Tanjunganyar Alaudin, Kades Sambung Siswahyudi, Kades Tambirejo Agus Suryanto, Kades Mlatiharjo M.Juanedi, Kades Banjarsari Hariadi, dan Kades Medini M.Rois. Oknum panitia seleksi mematok harga harga Rp150 juta untuk posisi perangkat desa dan Rp250 juta untuk jabatan sekretaris desa.

Penjatuhan pidana terhadap kepala daerah maupun kepala pemerintahan di tingkat desa yang tersangkut korupsi dinilai belum efektif.

Hukuman yang tinggi juga tidak memberi efek jera sehingga tindak pidana serupa dapat terulang kembali.

Pakar hukum pidana Universitas Diponegoro  Semarang Pujiyono menilai perlu ditelusuri permasalahan yang memicu terjadinya korupsi1 sehingga upaya pencegahan bisa dilakukan.

Modus paling umum dalam perilaku korup kepala pemerintahan di tingkat desa maupun kabupaten/ kota ialah penyalahgunaan kewenangan

Penyalahgunaan kewenangan dalam mengeksekusi anggaran dapat memunculkan praktik gratifikasi, suap, hingga kolusi.

Selain itu, kewenangan berkaitan dengan menentukan promosi atau mutasi jabatan akan memunculkan komersialisasi jabatan.

"Mengapa kepala daerah yang memiliki jabatan dan amanah justru melakukan korupsi, secara klasik hal tersebut berkaitan dengan persoalan moral," kata dosen hukum pidana Undip tersebut.

Terlebih lagi, pola perekrutan calon kepala daerah yang berbiaya tinggi sudah menjadi rahasia umum.

Ongkos yang dikeluarkan dengan beban yang besar sehingga saat menjadi kepala daerah, mereka harus berpikir untuk mengembalikan modal.

Modus lainnya yakni dengan menggandeng pemodal saat pencalonan sebagai kepada daerah.

Dan, ketika terpilih maka bisa memunculkan kolusi atau manipulasi proyek sebagai ganti biaya yang sudah dikeluarkan oleh bandar politik tersebut.

Oleh karena itu, terdapat hal-hal yang harus diperbaiki dalam pemilihan menghasilkan kepala daerah yang berkualitas dan mampu menyejahterakan rakyat.

Pujiyono menyebut pola perekrutan oleh partai politik menjadi salah satu upaya penting menghasilkan pemimpin yang bersih.

Partai politik perlu memiliki komitmen yang bersih pula saat mengusung calon kepala daerah, misalnya, dengan tidak ada menerapkan politik transaksional.

Negara juga dinilai memiliki tanggung jawab untuk ikut menghidupi partai politik sehingga biaya politik bisa ditekan.


Masa jabatan panjang cenderung korup
Berkaitan dengan kepala desa, tuntutan perpanjangan masa jabatan dari 6 menjadi 9 tahun melalui revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dikhawatirkan akan memunculkan permasalahan.

Pujiyono menilai masa jabatan yang terlalu lama akan mengakibatkan seseorang pemimpin cenderung diktator dan akan menjadi korup.

Kondisi tersebut didasarkan atas teori Lord Acton, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge Inggris, yang menyatakan "power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan absolut pasti korup).

Masa jabatan yang berlaku saat ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dinilai cukup riil untuk mengaktualisasikan program-program kepala desa.

"Kalau di masa itu mereka korupsi dan sebagainya, maka hukum yang bicara," katanya.

Meski demikian, hukuman penjara yang dijatuhkan terhadap kepala pemerintahan mulai dari tingkat desa hingga kabupaten/ kota dinilai belum efektif mencegah tindak pidana korupsi terulang.

Oleh karena itu dibutuhkan sosok-sosok yang bersih dan berkomitmen untuk menyejahterakan rakyat dengan dukungan, komitmen, dan pengawalan dari partai politik dan negara.

Orang baik yang masuk lingkaran kekuasaan tanpa disertai komitmen kuat, berpotensi besar terjerumus dalam kubangan korupsi.

Deretan pejabat yang dulu dikenal berintegritas lalu memiliki kekuasaan besar, tidak sedikit yang akhirnya terjerat perkara rasuah.














Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023