Indonesia juga berkomitmen menjadikan ASEAN tetap memainkan peran sentral ...
Jakarta (ANTARA) - Indonesia akan menjalankan peran keketuaan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) tahun ini dengan membawa pekerjaan rumah yang belum tuntas pada keketuaan sebelumnya ditambah ancaman dan kondisi global yang tidak menentu.

Saat memimpin ASEAN, Indonesia ingin menjadikan organisasi ini sebagai organisasi yang penting dalam menjawab tantangan, baik di kawasan maupun global, sebagaimana tema yang ditetapkan, yakni “ASEAN Matters: Epicentrum of Growth.”

Indonesia dengan keketuaannya ingin menjadikan ASEAN relevan dan penting, tidak hanya bagi rakyat Indonesia, tetapi juga bagi rakyat ASEAN dan di luar kawasan.

Indonesia juga berkomitmen menjadikan ASEAN tetap memainkan peran sentral sehingga menjadi motor yang dapat berkontribusi bagi stabilitas dan perdamaian kawasan serta lebih jauh lagi bagi perdamaian dunia.

Isu kawasan yang menjadi pekerjaan rumah Indonesia dalam kekeketuan tahun ini salah satunya adalah krisis politik Myanmar.

Sejak kudeta yang dilakukan oleh militer terhadap pemerintahan terpilih Myanmar pada Februari 2021, krisis politik di negara tersebut masih belum menunjukkan tanda-tanda pulih. Inilah salah satu PR besar bagi Indonesia dalam posisinya sekarang.

Optimisme penyelesaian kasus Myanmar sebenarnya sempat muncul saat para pemimpin ASEAN mengesahkan konsensus yang terdiri atas lima poin pada April 2021 di Jakarta.

Konsensus lima poin itu meliputi penghentian kekerasan di Myanmar dan semua pihak harus menahan diri sepenuhnya, menunjuk utusan khusus ASEAN untuk memfasilitasi mediasi dan dialog, mengizinkan ASEAN untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga Myanmar, serta mengizinkan utusan khusus ASEAN untuk bertemu dengan seluruh pemangku kepentingan di Myanmar.

Pada keketuaan Brunei Darussalam tahun 2021 disusul Kamboja 2022, bahkan hingga saat ini tidak ada tanda-tanda junta militer Myanmar untuk melaksanakan satu pun dari lima konsensus tersebut.

Krisis politik di Myanmar justru makin suram ketika junta militer pada Januari ini mengumumkan persyaratan baru yang sulit bagi partai-partai politik untuk mengikuti pemilihan umum yang direncanakan pada Agustus tahun ini.

Dikutip dari AFP, syarat yang ditetapkan amat memberatkan, bahkan bisa dibilang mustahil dipenuhi oleh partai-paetai politik Myanmar.

Dalam aturan yang tertuang pada undang-undang pemilu baru yang disetujui junta dan dipublikasikan oleh media milik negara, Global New Lightweight of Myanmar pada Jumat (27/1), partai yang sudah ada dan calon partai memiliki waktu hanya 60 hari untuk mendaftar ke komisi pemilihan yang dibentuk oleh junta militer.

Setiap partai politik yang ingin bersaing juga harus memiliki setidaknya 100.000 anggota dalam waktu 90 hari setelah pendaftaran. Namun demikian, meski sudah ada rencana pemilu, belum ada tanggal pasti pemilihan yang ditetapkan oleh junta.

Satu hal yang pasti, junta terus melancarkan agresi dan kini sudah ada lebih dari 2.800 orang tewas dan lebih dari 17.000 yang ditangkap sejak kudeta dua tahun lalu, demikian laporan AFP.

Dalam merespons isu Myanmar, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menegaskan Indonesia konsisten mengimplementasikan konsensus lima poin meskipun dia juga mengakui upaya itu tidak berjalan efektif dalam dua keketuaan sebelumnya.

Konsensus itu menjadi satu-satunya upaya untuk saat ini karena sesuai prinsip, ASEAN tidak akan mencampuri urusan dalam negeri Myanmar, namun akan terus berupaya mendorong dialog nasional dengan semua pihak di Myanmar.

Menteri Luar Negeri juga sudah membentuk tim utusan khusus ASEAN untuk Myanmar yang diisi oleh menteri-menteri luar negeri yang dapat mendorong koordinasi internal guna mencapai solusi hingga menciptakan dialog nasional bersama semua pihak di Myanmar.

Isu Myanmar menjadi salah satu yang mendesak diselesaikan. Namun Retno memastikan pembangunan komunitas ASEAN akan tetap menjadi fokus utama. Dia menegaskan isu Myanmar tidak akan menyandera proses penguatan pembangunan komunitas ASEAN.


Sentralitas dan legitimasi ASEAN

Salah satu tujuan didirikannya ASEAN adalah menciptakan kawasan Asia Tenggara yang damai, aman, stabil, dan sejahtera.

Oleh karena itu, penyelesaian krisis Myanmar bagaimanapun bakal menjadi pembuktian ASEAN sebagai organisasi regional yang kuat dalam menunjukkan kapabilitas dan kredibilitasnya menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan, juga agar keberadaan organisasi ini dipandang serius oleh komunitas internasional.

Pengamat hubungan internasional Universitas Gadjah Mada Randy Nandyatama menilai isu Myanmar menjadi penting tidak hanya demi menjaga stabilitas dan kemakmuran di kawasan, tetapi juga memperkuat legitimasi dan fungsi ASEAN itu sendiri sebagai organisasi regional.

Meski ada perbedaan pandangan dari negara-negara Asia Tenggara dalam merespons isu Myanmar, Indonesia dalam keketuaan ASEAN tahun ini harus dapat memastikan ada kemajuan dari junta militer agar mereka   bersedia menunjukkan iktikad baiknya.

Salah satunya dengan menjalankan setidaknya satu dari lima poin konsensus atau bersedia diajak dialog. Itu menjadi target yang paling masuk akal, sebab masalah di Myanmar tidak akan langsung selesai dalam 1 tahun atau dalam masa keketuaan Indonesia.

“Tantangannya, ASEAN sudah memutuskan 5 PC tapi Myanmar belum merespons itu dan menunjukkan iktikad baiknya. Dan banyak negara di luar sana bertanya-tanya, apakah ini artinya ASEAN memang tidak bisa melakukan apa pun? Jadi, saya melihat ada keraguan terkait legitimasi ASEAN,” kata Randy.

Selain isu Myanmar, legitimasi ASEAN juga dipertaruhkan dalam merespons masalah-masalah lain di kawasan, termasuk Laut China Selatan dan Indo-Pasifik.

selama 30 tahun terakhir, Randy menyebut   ASEAN selalu bisa menjadi motor dan forum penting untuk menginisiasi diskusi yang dapat membuat “nyaman” semua pihak.

Namun, kini sudah muncul forum-forum lain di luar kawasan, salah satunya AUKUS, pakta pertahanan trilateral antara Australia, Inggris, dan Amerika Serikat, yang membuat sentralitas ASEAN dipertanyakan.

AUKUS yang disepakati pada September 2021 bertujuan untuk menjaga stabilitas keamanan dan perdamaian di kawasan Indo-Pasifik dengan salah satunya berfokus pada pengembangan kapal selam tenaga nuklir.

Kemitraan itu memunculkan respons beragam dari negara-negara ASEAN. Filipina menjadi negara terdepan yang mendukung AUKUS. Vietnam tidak secara langsung menolak atau mendukung dan hanya menegaskan bahwa Vietnam selalu memantau perkembangan keamanan kawasan Indo-Pasifik.

Sementara itu, Indonesia dan Malaysia khawatir karena AUKUS dinilai hanya akan meningkatkan ketegangan dan perlombaan senjata di antara negara-negara adidaya yang berpotensi mengancam kestabilan dan keamanan di kawasan.

ASEAN sendiri sudah memiliki pandangan sendiri melalui ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) yang disepakati pada 2019, yang merupakan penegasan posisi ASEAN dalam peranannya untuk menjaga perdamaian, keamanan, stabilitas, dan kemakmuran di kawasan Indo-Pasifik, yang mencakup Asia Pasifik dan Samudera Hindia.

AOIP yang pertama kali digagas Indonesia itu mengedepankan pendekatan dialog dan kerja sama yang terbuka dan inklusif alih-alih kompetisi dan rivalitas. AOIP menunjukkan ASEAN tidak akan berpihak pada negara besar manapun dan menjaga perdamaian kawasan Indo-Pasifik.

Meski demikian, kesepakatan AUKUS, menurut Randy, telah menunjukkan sinyal bahwa beberapa negara mulai ragu dengan kemampuan ASEAN, termasuk dalam menjaga keamanan dan stabilitas di kawasan terutama Indo-Pasifik.

“Dua isu ini, Myanmar dan AUKUS, menunjukkan bahwa legitimasi ASEAN saat ini ada di titik dipertanyakan. Ini berisiko penting kepada kemampuan ASEAN untuk berfungsi pada masa depan,” ujarnya.

Namun, Indonesia punya pengalaman dalam menjalani peran keketuaan di ASEAN dengan usulan isu dan kebijakan yang fundamental. Ini menjadi modal bagi Indonesia untuk meningkatkan sentralitas dan persatuan ASEAN di kawasan serta menjawab keraguan yang mulai berkembang.

Modal Indonesia

Indonesia selalu mempunyai milestone atau tonggak sejarah penting saat tiga kali menjabat sebagai sebagai ketua ASEAN pada 1976, 2003, dan 2011.

Selain menjadi salah satu penggagas ASEAN, Indonesia dalam keketuaan sebelumnya telah menghasilkan tiga deklarasi yang dikenal dengan Bali Concord I pada 1976, Bali Condord II pada 2003, dan Bali Concord III pada 2011.

Bali Concord I adalah Treaty of Amity and Cooperation (TAC) yang mengatur pola perilaku antarnegara anggota untuk mengedepankan cara-cara damai selesaikan sengketa di antara mereka, bukan menggunakan aksi kekerasan.

Sementara Bali Concord II merupakan kesepakatan ASEAN untuk membangun komunitas berdasarkan tiga pilar yaitu pilar politik dan keamanan, pilar ekonomi, dan pilar sosial budaya.

Bali Concord III pada 2011 adalah panduan dari Declaration of Conduct dalam penanganan isu Laut China Selatan yang sedang dihadapi sebagian negara anggota ASEAN dan negara di luar ASEAN.

Indonesia harus menciptakan jejak penting berikutnya dalam keketuaan tahun ini tidak hanya semata soal menjaga harmonisasi dua kekuatan dunia antara AS dan China, tetapi lebih kepada penguatan institusi ASEAN ke depan.

Indonesia juga harus bisa menciptakan kebijakan yang dapat menjawab tantangan non-traditional security, seperti isu kesehatan, krisis lingkungan, dan krisis pangan yang dipastikan akan makin sering muncul di masa mendatang.

Indonesia telah berkomitmen untuk mendorong sejumlah kerja sama ASEAN di bawah kepemimpinan tahun ini, yaitu antisipasi krisis pangan yang mungkin meluas sebagai dampak perang di Ukraina, penguatan kerja sama kesehatan untuk memastikan kawasan Asia Tenggara benar-benar keluar dari pandemi, serta penanggulangan tindak pidana perdagangan orang.

Kerja sama yang disepakati, tindakan yang diambil, dan hasil dari keketuaan Indonesia di ASEAN tahun ini patut dinanti karena itu akan menjadi pembuktian penting bagi organisasi regional tersebut untuk menjaga sentralitas dan legitimasinya sebagai perhimpunan yang tangguh dan bisa mengatasi tantangan di kawasan sebelum berperan jauh di kancah global.







 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023