Kami dilecehkan, dipaksa mencuci dan menyetrika pakaian mereka pada siang hari
Manila (ANTARA) - Para wanita penyintas perbudakan seksual oleh militer Jepang semasa Perang Dunia (PD) II di Filipina mendesak Pemerintah Jepang mengakui kejahatan perang itu dan menyelesaikan isu "wanita penghibur" dan berhenti "menghasut perang".

"Sangat tidak adil bagi Pemerintah Jepang untuk terus-menerus mengabaikan isu 'wanita penghibur' Filipina yang telah menderita cukup lama, lebih dari setengah abad dalam diam," kata Direktur Eksekutif Lila Pilipina Sharon Cabusao-Silva kepada wartawan.

Lila Pilipina merupakan organisasi yang membantu para wanita yang dipaksa masuk ke rumah bordil militer Jepang dalam memperjuangkan keadilan. Kini, hanya tersisa sedikit penyintas yang sebagian besar di antaranya berusia 90-an tahun dan sakit.
 
Memorial "Untuk Mengenang Para Korban Perbudakan Seksual Militer dan Kekerasan Selama Perang Dunia Kedua" di Kota Paranaque, Metro Manila, Filipina, Minggu (25/8/2019). (ANTARA/Xinhua/Rouelle Umali)


Silva menuntut Jepang mengakui trauma yang dialami para wanita korban kejahatan Tentara Kekaisaran Jepang saat PD II.

Ketika mendeklarasikan pencapaiannya di berbagai bidang hak asasi manusia (HAM), Pemerintah Jepang benar-benar bungkam soal sistem "wanita penghibur" yang juga merupakan inti dari isu itu.

"Kami mendesak Jepang mengakui kejahatan perangnya terhadap negara-negara Asia dan mengambil langkah yang diperlukan untuk menuju penyelesaian isu 'wanita penghibur' yang adil dan telah lama tertunda," demikian pernyataan Lila Pilipina.

Seruan Lila Pilipina tersebut datang ketika Jepang akan menyerahkan laporan HAM untuk Fourth Cycle of the United Nations' Universal Periodic Review of Human Rights tentang Hak Asasi Manusia di Filipina.

"Kami geram saat mengetahui Jepang kembali memilih mengabaikan isu perbudakan seks militernya pada masa perang terhadap ribuan wanita Asia dalam laporan hak asasi manusia keempat, yang diserahkannya ke Dewan Hak Asasi Manusia PBB (UNHRC)," tambah Lila Pilipina.
 
    Korban perbudakan "wanita penghibur" Filipina Estelita Dy (kiri) dan Narcisa Claveria mempersembahkan bunga pada memorial "Untuk Mengenang Korban Perbudakan Seksual Militer dan Kekerasan Selama Perang Dunia Kedua" di Paranaque City, Metro Manila, Filipina, Minggu (25/8/2019). (ANTARA/Xinhua/Rouelle Umali)


Lila Pilipina menyatakan Jepang benar-benar mengabaikan rekomendasi yang diberikan oleh negara-negara lain agar menyelesaikan isu yang telah berlangsung lama ini.

Kelompok tersebut juga memperingatkan tentang tindakan agresif Jepang terhadap pengeluaran dan produksi perang, dengan adanya pengembangan misil dan peningkatan kemampuan pertahanan lainnya.

Lila Pilipina khawatir tentang bagaimana Jepang melakukan militerisasi program-program Bantuan Pembangunan Resmi (Official Development Assistance) di Filipina melalui penjualan material perang.

 
Seorang wanita mengangkat kepalan tangannya di memorial "Untuk Mengenang Korban Perbudakan Seksual Militer dan Kekerasan Selama Perang Dunia Kedua" di Paranaque City, Metro Manila, Filipina, Minggu (25/8/2019). (ANTARA/Xinhua/Rouelle Umali)


Sebagai saksi hidup dan korban perang, Narcisa Claveria (91) dan Estelita Dy (90) menuturkan bagaimana mereka mengalami kekejaman dan kesulitan selama Perang Dunia II di tangan militer Jepang.

"Kami dilecehkan, dipaksa mencuci dan menyetrika pakaian mereka pada siang hari, dan berulang kali diperkosa pada malam harinya oleh tentara Jepang. Itu sebabnya saya menolak perang," kata Claveria.

Claveria menegaskan perang saat itu sangat brutal.

"Anda akan menderita, bahkan jika Anda tidak melakukan kesalahan, mereka akan menuduh Anda melakukan sesuatu meskipun Anda tidak melakukannya," katanya.

Estelita Dy menambahkan generasi baru saat ini dan di masa mendatang tidak boleh mengalami kejamnya perang.

"Kami tidak ingin generasi baru mengalami kekejaman perang atau apa pun yang kami lalui selama perang. Jadi, kami menentang perang," kata Estelita.

Selama Perang Dunia II, ratusan ribu wanita dan remaja perempuan dari China, Semenanjung Korea, Asia Tenggara, serta negara dan kawasan lainnya dipaksa menjadi budak seks oleh militer Jepang dan mengalami kekerasan seksual yang mengerikan, baik secara mental maupun fisik.

Pewarta: Xinhua
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2023