Jakarta (ANTARA) - Alat musik itu bernama gambang kromong, yang mungkin anak muda kini jarang mendengarnya. Karena itu Bang Mbeng selalu bersemangat menceritakan kembali jenis alat musik yang terbuat dari kayu tersebut.

Bang Mbeng, sosok sederhana yang menjadi pelaku seni sekaligus pelatih alat musik gambang kromong, memiliki ciri khas logat Betawi yang kental terdengar.

Suaranya yang lantang memenuhi latar rumah kayu yang menjadi tempatnya mengajarkan alat musik kepada anak-anak sekolahan.

Suasana kala itu terasa nyaman dengan celotehan gurauannya yang menyenangkan serta tuturnya penuh pengalaman.

Teriknya matahari itu tak terasa panas lantaran terpaan udara segar dari hijaunya pepohonan rindang di Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi (UPK PBB) Setu Babakan.
Sosok bang Mbeng yang menjadi pelatih alat musik gambang kromong di Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi (UPK PBB) Setu Babakan, Jakarta, Rabu (28/10/2022). ANTARA/Luthfia Miranda Putri


Ketika meluangkan waktunya untuk diwawancara, dia mengatakan gambang kromong merupakan alat musik tradisional Betawi yang biasanya digunakan untuk mengiringi tari, lenong, hingga lagu, seperti Jali-Jali, Sirih Kuning, dan Stambul Betawi.

Menurut dia, gambang kromong merupakan perpaduan gamelan dengan alat musik Tionghoa seperti sukong, tehyan, dan kongahyan.

“Adanya Arab, Cina, dan Portugis yang datang untuk berdagang sekaligus membawa kesenian mereka sehingga berpengaruh pada budaya di sini,” kata Bang Mbeng, saat berbincang dengan Antara.

Dari pengaruh beragam etnis inilah yang membuat gambang kromong bisa diterima oleh banyak lapisan masyarakat, termasuk di kalangan orang Betawi.

Pria yang mengajar sejak Tahun 2016 itu menambahkan gambang kromong memiliki beragam harga, tergantung fungsinya, mulai dari Rp150 ribu untuk pajangan rumah, Rp500 ribu untuk latihan setiap hari, dan Rp1 juta yang biasa dipakai untuk keperluan pentas seni.


Tantangan mengajar

Selama kurang lebih tujuh tahun mengajar, Bang Mbeng menuturkan tentu ada tantangan yang dialaminya saat berupaya membagikan ilmunya kepada kalangan anak muda.

Pria paruh baya itu menceritakan sering kali anak-anak yang diajarinya cenderung bermain telepon seluler, bahkan ada yang sudah fokus mendengarkan, namun malah diganggu oleh teman di sebelahnya.

“Karena ngumpulin anak muda itu kayak ngumpulin daun kering, gampang dikumpulin, tapi di saat kena angin (diajak belajar) itu buyar,” ujarnya.

Dia mempelajari mengajar anak-anak muda memang harus memiliki strategi khusus, lantaran jiwa mereka yang cenderung bebas dan banyak kemauan.

Adapun setiap kali mengajar, dia bisa melatih sembilan tim yang terdiri dari anak usia pendidikan anak usia dini (PAUD), sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), hingga tingkat sekolah menengah atas (SMA).

Baginya, momen menarik yang tak terlupakan saat mengajar adalah ketika berhadapan dengan anak PAUD yang masih susah fokus untuk mempelajari hal yang baru.

Namun semua itu bisa di atasi dengan mendekati mereka perlahan, sambil mengenali dan mengikuti kemauan anak-anak tersebut.

“Kebanyakan kan dari kita suka ngomelin anak kalau takut alatnya rusak. Kalau saya biarin aja, meski alat musik itu dibuat rusak, kan bisa diperbaiki lagi atau dikilokan,” ujarnya.

Lebih lanjut, menurut dia, justru ketika anak masih kecil perlu diajarkan budaya sejak dini agar mereka tahu jati dirinya berasal dari mana, sehingga mereka memiliki sikap peduli untuk terus melestarikan budaya.

Bang Mbeng sendiri mengajar karena merasa tertuntut sebagai orang Betawi. Baginya, kalau bukan dia yang mengenalkan alat musik itui ke anak-anak, lalu siapa lagi yang akan melakukannya.


Pelestarian budaya 

Bang Mbeng menyampaikan pesannya, selain gambang kromong, ada juga kesenian Betawi yang hampir punah dan perlu dilestarikan, yakni Samrah.

Samrah merupakan alat musik yang memakai harmonium, bas betot, gendang, biola, dan gitar.
Alat musik gambang kromong di Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi (UPK PBB) Setu Babakan, Jakarta, Rabu (28/10/2022). ANTARA/Luthfia Miranda Putri

Biasanya saat orkes Samrah, terdapat 10 orang yang memainkan alat musik yang ditambah penyanyi dan penari yang memakai kostum khas Betawi.

Menurut dia, para pemainnya yang sudah tua membuat anak muda yang masih ingin mempelajari Samrah hanya bisa menyerap ilmu melalui YouTube.

Kerap kali anak muda kesusahan memahami lantaran ketukan nadanya berbeda dibandingkan dengan saat mempelajarinya langsung di sanggar.

Meski sampai saat ini masih ada yang memainkan, namun euforianya tak terasa sama seperti zaman dahulu, lantaran adanya pemakaian alat musik baru, seperti bas elektrik dan kibor (keyboard).

Kalahnya Samrah itu karena adanya alat musik modern, seperti kibor, yang bisa memainkan semua jenis lagu.

Dengan demikian, Bang Mbeng berharap melalui semangatnya dalam mengajar, anak-anak muda bisa tertarik mempelajari budaya Betawi dengan cara santai tanpa paksaan.

Sebagai guru jangan menjadi sosok yang keras lantaran saat ini yang dibutuhkan anak muda adalah sosok pengajar yang juga bisa menjadi teman, kata dia.

Terlebih, faktor orang tertarik menjadi pelaku seni berasal ada beragam yakni keturunan, bakat, dan rasa ingin tahu yang besar untuk belajar.

“Anak muda biar tertarik tipsnya pertama kenalin dulu dia, jangan dilarang buat berkarya dan ambil hatinya dulu baru kita ikutin kemauannya,” tutupnya.


Sementara itu, Kepala Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Selatan Puspla Dirdjaja terus menggencarkan pengembangan budaya Indonesia dengan memberikan pelatihan tari maupun alat musik untuk 30 peserta di Pusat Pelatihan Seni Budaya Jakarta Selatan Gedung H. Sa'aba Amsir, Tebet.

Untuk tahun 2023 ini, suku dinas itu memberikan pelatihan seni musik, yakni gambang kromong, angklung, dan talempong.

Kemudian, pelatihan seni tari yang diajarkan adalah Glipang dari Probolinggo, Nandak Girang dari Betawi, dan Dikideng dari NTT. Masyarakat yang tertarik untuk mengikuti pelatihan wajib mengikuti syarat berumur 16 hingga 40 tahun dan berdomisili juga di Jakarta Selatan yang dibuktikan dengan KTP.


Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023