London (ANTARA) - Inggris pada Selasa mencatat jumlah hari kerja yang hangus pada 2022 karena aksi protes pekerja mencapai lebih dari 2,5 juta, angka tertinggi sejak 1989, ketika 4,1 juta hari kerja tidak terpakai.

Menurut Kantor Statistik Nasional (ONS) Inggris, perselisihan perburuhan yang dipicu oleh krisis biaya hidup dan tuntutan kenaikan upah telah mencatatkan angka tertinggi kehilangan hari kerja selama 33 tahun.

Dengan rekor inflasi selama empat dekade, pekerja dari berbagai sektor, seperti masinis, guru, dan tenaga kesehatan, telah melakukan pemogokan selama beberapa bulan terakhir.

Data ONS menunjukkan 843 ribu hari kerja hangus pada Desember karena aksi mogok pekerja, termasuk petugas keamanan imigrasi, 100 ribu suster, dan ribuan pekerja ambulans, menjelang dan selama liburan Natal.

Meskipun beberapa perselisihan kecil telah diselesaikan, perselisihan besar dan krusial tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda.

Pada awal Februari, sedikitnya setengah juta guru, pegawai negeri, dan masinis mengikuti aksi mogok terbesar dalam satu dekade.

Banyak serikat pekerja juga sudah merencanakan aksi mogok lanjutan.

Pemerintah Inggris sejauh ini menolak memenuhi permintaan kenaikan upah di sektor publik.

Sebaliknya, pemerintah berupaya memperketat hukum untuk mempersulit pekerja di sektor-sektor vital melakukan pemogokan.

Pemerintah mengatakan bahwa kenaikan upah yang dituntut pekerja tidak dapat dipenuhi, dan kenaikan gaji untuk mengimbangi inflasi hanya akan memperburuk masalah.

Sementara itu, laju pertumbuhan gaji pokok di Inggris meningkat lagi dalam tiga bulan terakhir 2022, yang menegaskan kekhawatiran bank sentral akan dampak inflasi terhadap perekonomian.

Gaji pokok di luar tunjangan naik sebesar 6,7 persen, tercepat sejak 2001 tanpa mempertimbangkan kondisi pandemi.

Sumber: Reuters

Baca juga: Inggris siapkan aturan baru untuk tekan gangguan aksi unjuk rasa
Baca juga: Inggris dilanda aksi mogok terbesar sejak satu dekade

Penerjemah: Kenzu Tandiah
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2023