Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) Dr. dr. Aida Lydia SpPD-KGH mengingatkan pentingnya rujukan tepat bagi pasien yang menderita penyakit ginjal, sebab akan berdampak pada kesehatan pasien serta biaya yang dikeluarkan.

"Kalau terlambat (ditangani), akan ada dampak dari segi biaya dan segi keberlangsungan kesehatan pasien," kata Aida dalam diskusi daring, Rabu.

Ia menambahkan bahwa rujukan tepat waktu dapat dilakukan dengan deteksi dini terhadap gangguan ginjal kronik.

"Kalau kita deteksi dini gangguan ginjal, kita masih bisa melakukan pencegahan, bagaimana agar tidak jatuh ke dalam gagal ginjal. Dan mestinya, pasien dirujuk tepat waktu ke layanan kesehatan yang lebih tinggi, andaikata pasien itu kemudian memerlukan terapi pengganti ginjal," ujarnya.

Baca juga: BPJS catat biaya layanan diagnosa gagal ginjal Rp22,2 T pada 2014-2022

Adapun mengenai tanda-tanda gangguan ginjal, Aida mengatakan mayoritas pasien awalnya tidak mengalami keluhan. Keluhan baru timbul apabila fungsi ginjal sudah sangat menurun.

"Keluhan itu sendiri juga sangat bervariasi dari pasien satu ke pasien lain. Mulai dari yang ringan seperti kakinya bengkak, tekanan darahnya naik, kemudian sesak nafas, mudah lelah karena HB menurun, sampai komplikasi lanjut seperti gangguan kesadaran atau bahkan bisa kejang," tambah Aida.

Menurut Aida, saat ini masih banyak pasien gagal ginjal kronik di Indonesia datang terlambat untuk mendapatkan pelayanan di rumah sakit. Sehingga, rujukan tepat waktu pun masih menjadi tugas yang harus dibenahi.

Padahal jika deteksi dini dilakukan dan pasien mendapatkan rujukan tepat waktu, Aida mengatakan bahwa selain mengurangi keparahan penyakit serta meminimalisasi biaya, dokter juga dapat mengajak pasien berdiskusi mengenai terapi yang akan dilakukan di kemudian hari dan mempersiapkannya.

"Karena kalau jauh-jauh hari, pasien bersama dokter dan perawatnya mestinya sudah diajak berdiskusi tentang terapi pengganti ginjal apa yang akan dijalani oleh pasien, apakah hemodialisis, apakah peritoneal dialisis, atau transplantasi," ujar Aida.

Baca juga: Penyakit ginjal kronik dan terapi terbaik menanganinya menurut pakar

Bila pasien memilih hemodialisis, Aida mengatakan, dokter sejak jauh-jauh hari akan membuat akses pembuluh darah melalui operasi kecil. Sehingga, pada saat pasien memerlukan hemodialisis, akses tersebut sudah dapat digunakan.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat bahwa kejadian gagal ginjal kronik meningkat dari 0,2 persen pada 2013 menjadi 0,38 persen pada 2018. Dengan demikian, dibandingkan jumlah penduduk Indonesia yang sebanyak 252.124.458 jiwa pada 2018, maka terdapat 713.783 jiwa yang menderita gagal ginjal kronis dan memerlukan terapi.

Selain itu, gagal ginjal juga termasuk dalam pengelompokan katastropik pada program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan, yang berarti penyakit tersebut memerlukan perawatan medis jangka panjang dan menguras biaya yang tinggi.

Baca juga: Dokter: Pastikan ginjal sehat dengan pemeriksaan urine dan darah

Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2023