Beijing (ANTARA) - Dalam pidato tahunan kenegaraan presiden Amerika Serikat atau State of the Union Address baru-baru ini, Presiden Joe Biden dinilai menyampaikan hal yang berbeda jauh dengan kondisi nyata di negara itu.

Sembari menceritakan prestasinya sendiri sejak menjabat sebagai presiden ke-46 AS, Biden juga mempromosikan upayanya soal ancaman terhadap China demi mendapatkan dukungan.

"Saat ini, kita berada di posisi terkuat dalam beberapa dekade untuk bersaing dengan China atau siapa pun di dunia dan memenangkan persaingan dengan China akan menyatukan kita semua," kata Biden dalam pidato kenegaraannya itu.

Namun demikian, data menunjukkan bahwa dari 2020 hingga 2022, ekonomi China mencatatkan pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 4,5 persen atau melampaui rata-rata pertumbuhan dunia yang berada di angka 1,8 persen dan lebih tinggi dibandingkan perekonomian besar lainnya.

Namun, mengingat realitas situasi di AS, obsesi untuk menekan pertumbuhan China dinilai benar-benar ganjil.

Saat pesimisme meluas di AS, pidato Biden yang mengumbar pencapaian sosial ekonomi pemerintahannya selama dua tahun terakhir itu hanya akan menuai ketidakpercayaan dan kritikan dari berbagai pihak.

Menurut jajak pendapat Washington Post-ABC News terbaru, mayoritas penduduk AS tidak percaya bahwa Biden telah mencapai banyak hal sejak menjabat sebagai presiden. Sekitar 41 persen warga Amerika menyatakan kondisi finansial mereka memburuk di bawah kepemimpinan Biden.

Para pengambil keputusan di Washington juga tampak bergeming membiarkan masalah negara itu tidak terpecahkan.

Pemilihan ketua DPR yang dilakukan berulang kali menjadi pengingat jelas tentang bagaimana politikus AS tersesat dalam politik partisan yang bersifat memecah belah, sehingga membuat pemerintahan Amerika semakin tidak berfungsi.

Sementara itu, 7 dari 10 responden mengatakan negara itu menuju ke arah yang salah. Tingkat persetujuan publik untuk kinerja Biden berada di kisaran 41 persen, mendekati tingkat terendah selama masa kepresidenannya, menurut jajak pendapat NPR/Marist.

Dalam pidatonya yang sangat optimistis tersebut, Biden mencoba meyakinkan audiensnya, baik yang berada di dalam Gedung Capitol maupun di mana pun mereka berada.

Biden menyatakan bahwa AS telah mendapatkan kembali pengaruh globalnya. Namun, pemerintahan yang lumpuh dan sistem yang korup mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah. Dunia pun kehilangan kepercayaan pada AS.
 
Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyampaikan pidato kenegaraannya kepada Kongres di Washington D.C., Selasa (7/2/2023). (ANTARA/Xinhua/Liu Jie)   


Mereka yang mengecap dirinya sebagai abdi masyarakat seakan kecanduan pada permainan kekuasaan partisan. Sementara itu, masyarakat AS terus berjuang di tengah kesenjangan kekayaan yang semakin melebar, perpecahan sosial, kekerasan bersenjata dan kekerasan polisi yang merajalela, serta meningkatnya kejahatan rasial dan diskriminasi rasial.

AS tampak kurang tertarik untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dan negara paling kuat di dunia itu justru tidak menyia-nyiakan waktu untuk memicu konflik di luar negeri.

Dalam bukunya berjudul "Unbalanced: The Codependency of America and China", Stephen Roach, senior fellow sekaligus dosen Universitas Yale, mengatakan bahwa China menjadi kambing hitam asing favorit AS, sedangkan AS berlaku seolah-olah sebagai korban.

Sejak awal tahun 2023, ekonomi China menunjukkan kinerja mengesankan dengan pemulihan cepat setelah menyesuaikan dengan langkah-langkah pengendalian COVID-19. China pun menerapkan kebijakan pro-pertumbuhan secara tepat waktu.

Terkait prospek pertumbuhan, lembaga-lembaga internasional telah menaikkan proyeksi mereka untuk pertumbuhan ekonomi China pada 2023.

Dana Moneter Internasional (IMF) menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi China untuk 2023 menjadi 5,2 persen, naik dari prediksi sebelumnya yang sebesar 4,4 persen.

Selain itu, Financial Times melaporkan bahwa investor global telah membeli ekuitas China senilai 21 miliar dolar AS di 2023, karena data ekonomi yang kuat mendorong para trader untuk bertaruh lebih besar.

Sudah menjadi taktik politik yang lazim bagi Washington untuk menyerang China guna mengalihkan perhatian banyak pihak ketika keadaan bermasalah. Biden dan timnya pun menggunakan metode lama, terutama saat permusuhan terhadap China dapat memberikan dukungan bipartisan.

Namun, tak peduli seberapa besar upaya Washington memainkan permainan anti-China, berbagai masalah Amerika yang telah mengakar akan tetap ada, seperti utang nasional yang sangat tinggi, tekanan biaya hidup, serta risiko resesi yang mengancam.

Para pembuat kebijakan AS seharusnya fokus untuk melayani rakyat Amerika.

Dalam pidatonya, Biden mengatakan AS harus menjadi negara yang selalu berada di posisi terbaik. Namun, political whitewashing atau upaya menutupi keburukan politik merupakan tindakan menyesatkan yang berbahaya; dan memicu ketakutan hanya akan menyebabkan salah penilaian.

Mengenai hubungan China-AS, mencoba membatasi hak-hak sah negara lain untuk berkembang dengan mengatasnamakan persaingan adalah tindakan tidak bertanggung jawab.

Kemajuan China maupun kemajuan AS menghadirkan banyak peluang, bukannya menimbulkan tantangan, bagi satu sama lain.

Dunia cukup besar bagi kedua negara itu untuk berkembang secara individual maupun kolektif. AS, sebagai negara paling kuat di dunia, haruslah berperilaku seperti negara besar yang bertanggung jawab. Dan hal itu dimulai dengan AS terlebih dahulu memperbaiki masalah-masalah dalam negerinya sendiri.
 

Pewarta: Xinhua
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2023