Roma (ANTARA) - Konflik di Ukraina kembali memunculkan isu otonomi strategis Uni Eropa (EU) ke permukaan, yang telah ada sejak puluhan tahun lalu, menurut sejumlah analis.

Dalam banyak hal, Amerika Serikat (AS) menjadi pemimpin dalam menentukan kebijakan yang mendukung perjuangan Ukraina, dengan mayoritas negara Eropa mengikuti langkah negara tersebut.

Ukraina juga mendapatkan manfaat dari dukungan kuat EU. Namun, sejumlah analis mengatakan bahwa AS jelas mengambil peran utama.

"Kewenangan yang dimiliki EU terkait kebijakan luar negeri dan kebijakan keamanan sangat terbatas dibandingkan dengan kewenangan yang dimilikinya di bidang-bidang kebijakan lain," kata Mattia Guidi, seorang ilmuwan politik di LUISS University di Roma.

Guidi menyampaikan bahwa ada beberapa alasan terkait hal itu, termasuk kuatnya pengaruh AS dan cara pengambilan keputusan mengenai isu-isu geopolitik di Eropa.

"EU membuat keputusan berdasarkan aturan pengambilan suara secara bulat, yang berarti seluruh 27 negara anggota harus dihadirkan di meja perundingan dan menemukan solusi yang cocok bagi semua pihak," jelasnya.

Menghadirkan seluruh negara anggota EU pada satu meja perundingan adalah perbuatan yang sulit dilakukan.

"Itu sangat sulit; yang biasanya terjadi adalah EU tidak dapat memutuskan sesuatu yang substansial terkait kebijakan luar negeri dan keamanan," katanya
 
   



Hal itu terlihat jelas saat Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky bertemu dengan jajaran pemimpin Eropa dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dewan Eropa di Brussel pada 9 Februari.

"NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) sudah ada di sana. NATO merupakan organisasi yang lebih fungsional dalam mengelola isu-isu tersebut; dan dalam pakta pertahanan inilah, tentu saja, AS memainkan peran utama. Pergeseran ini juga mudah terjadi karena terdapat tumpang tindih yang begitu besar antara NATO dan EU," jelas Guidi.

Konsensus juga tercapai terkait janji untuk memberikan dukungan berkelanjutan bagi Ukraina. Namun, terdapat perbedaan besar perihal apa yang dimaksud dengan dukungan tersebut.

Beberapa negara ingin mendukung Ukraina melalui kemungkinan perundingan damai, sedangkan yang lain ingin membatasi dukungan pada mekanisme keuangan dan beberapa sisanya ingin melanjutkan dukungan militer.

Kritik juga dilayangkan oleh Perdana Menteri (PM) Italia Giorgia Meloni yang menyebut bahwa pembicaraan trilateral antara Zelensky, Presiden Prancis Emmanuel Macron, dan Kanselir Jerman Olaf Scholz di Paris sehari jelang berlangsungnya KTT itu "tidak pantas", kata Guidi, mengingat prinsip pengambilan suara secara bulat.
 
Dokumentasi - KTT Ukraina-UE ke-24 diadakan di Kiev, Ukraina, pada 3 Februari 2023.(ANTARA/Xinhua/HO-Kantor kepresidenan Ukraina)


Sejumlah analis mengatakan isu-isu itu meningkatkan pengaruh NATO yang kini menjadi kerangka pendukung utama bagi Ukraina dan telah memberikan dukungan bagi Kiev selama bertahun-tahun sebelum konflik pecah.

Menghadapi konflik berskala besar di depan mata, kapasitas EU dalam merespons hal itu terbatas.

Sementara itu, NATO telah memperluas kehadiran militernya di sayap timur. Pertemuan rutin para menteri pertahanan aliansi itu dan pertemuan Kelompok Kontak Pertahanan Ukraina, yang lebih besar di pangkalan udara AS di Ramstein, kini membuat keputusan terkait konflik tersebut.

NATO memiliki 30 negara anggota, termasuk 21 negara anggota EU.

Swedia dan Finlandia, dua negara anggota EU lainnya, masih dalam proses untuk bergabung dengan NATO; sementara beberapa negara anggota NATO non-EU sedang mengupayakan keanggotaan mereka di EU.

Seorang pakar kebijakan luar negeri di Free University of Berlin Ingo Peters mengatakan isu otonomi strategis EU merupakan hal yang kerap muncul ke permukaan di masa lalu sejak berakhirnya Perang Dingin pada awal 1990-an.

"Otonomi strategis Eropa telah didukung oleh beberapa negara, namun tidak oleh semuanya," kata Peters.

Cendekiawan tamu Pusat Kajian Eropa di University of North Carolina di Chapel Hill, AS, itu mengatakan Jerman dilaporkan setuju mengirimkan tank-tank Leopard 2 yang canggih ke Ukraina pada akhir Januari hanya setelah AS memutuskan untuk mengirimkan tank-tank M1 Abrams.

"Ada sejumlah alasan historis terkait hal ini, karena kami warga Jerman meyakini bahwa pengaruh AS di Eropa dibutuhkan sebagai semacam keseimbangan eksternal untuk menjaga sahabat dan tetangga kami tetap tenang. Contohnya, Jerman selalu menyampaikan bahwa EU sebaiknya tidak bergerak maju tanpa AS, yang menurut negara itu merupakan hal yang esensial untuk memperkuat Uni Eropa," jelas Peters.

Dia mengatakan Jerman memang merupakan perekonomian terbesar di EU, namun negara itu tidak selalu menjadi aktor utama dalam isu-isu yang berkaitan dengan hubungan dan keamanan internasional sebagian karena warisannya dari dua Perang Dunia pada abad ke-20.

Kendati demikian, hal itu mulai berubah secara perlahan sejak konflik Ukraina pecah, tambahnya.

"Dalam beberapa bulan terakhir, otonomi strategis Eropa dihadapkan pada realitas yang ada. Eropa harus lebih kuat dan lebih bersatu, tidak selalu bergantung pada AS yang semakin kurang memfokuskan upaya, perhatian, dan uangnya untuk Eropa," kata seorang senior policy fellow di Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri, Ulrike Franke.


 

Pewarta: Xinhua
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2023