Saya matur nuwun batik saya bisa sampai ke tangan Paus Fransiskus.
Yogyakarta (ANTARA) - Gusti Kanjeng Bendara Raden Ayu (GKBRAy) Adipati Paku Alam X, tokoh pelestari batik dan wastra Nusantara, mengaku sangat bahagia ketika salah satu karyanya sampai kepada Paus Fransiskus di Vatikan.

Bukan sekadar sampai, batik hasil karyanya bermotif ceplok mangkara latar kawung tersebut, begitu diterima Paus Fransiskus dari delegasi Paguyuban Wartawan Katolik Indonesia (PWKI) yang berkunjung ke Vatikan pada 16 November 2022, itu langsung diselempangkan di bahu Paus Fransiskus.

GKBRAy Adipati Paku Alam X yang merupakan permaisuri dari Adipati Paku Alam X tersebut mengaku sangat bahagia melihat batik karyanya langsung diselempangkan di bahu Paus Fransiskus.

Perasaan bahagia itu dikemukakannya saat menerima kunjungan delegasi Paguyuban Wartawan Katolik Indonesia (PWKI) di Puro Pakualaman, Yogyakarta, pada 31 Januari 2023.

Delegasi PWKI dipimpin Mayong Suryolaksono, dengan didampingi Penasihat sekaligus Pendiri PWKI AM Putut Prabantoro, delegasi PWKI ke Vatikan, dan beberapa wartawan PWKI Yogyakarta.

Kunjungan delegasi PWKI ke Puro Pakualaman untuk melaporkan hasil kunjungan PWKI ke Vatikan termasuk diterima oleh Paus Fransiskus pada 16 November 2022.

Menurutnya, hal tersebut sungguh sangat luar biasa dan menjadi bagian dari sejarah. Bahkan sampai suaminya, Paku Alam X, heran dan tidak percaya.

"Saya matur nuwun (berterima kasih) batik saya bisa sampai ke tangan Paus Fransiskus. Itu sungguh luar biasa dan bagian dari sejarah. Sampai suami saya heran dan bertanya ‘kok bisa sih’, karena saya tidak bilang ke suami saya," ungkap GKBRAy Adipati Paku Alam X saat menerima delegasi PWKI waktu itu.

Batik tulis ceplok mangkara latar kawung menjadi salah satu cendera mata yang diserahkan Delegasi PWKI ke Vatikan kepada Paus Fransiskus.

Selain batik karya GKBRAy Adipati Paku Alam X, juga ada gunungan wayang dari Sri Sultan Hamengku Buwono X, lukisan dan patung Maria Bunda Segala Suku dari Uskup Agung Jakarta Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo, serta buku karya Romo Sandro Peccati SX, misionaris Italia yang telah 60 tahun berkarya di Indonesia.

GKBRAy Adipati Paku Alam X menjelaskan bahwa batik-batik tulis yang diciptakannya merupakan terjemahan dari naskah-naskah kuno yang ada di Puro Paku Alam Yogyakarta, yang utama adalah tentang ajaran kepemimpinan, Astabrata.

Astabrata yang merupakan ajaran kepemimpinan dari Paku Alam II itu sudah ada sekitar 200 tahun lalu.

Menurutnya, Astabrata ini ajaran yang bagus untuk para pemimpin pada masa sekarang  sehingga dirinya mensosialisasikan Astabrata itu melalui media batik.

Proses pembuatan karya batik tersebut diawali dengan membaca wasiat dari naskah aslinya dan kemudian menuangkan dalam bentuk gagasan dan diaplikasi dalam media batik. Harapannya, ajaran-ajaran luhur tentang kepemimpinan tidak akan hilang dan ini menjadi koleksi yang tidak ternilai.

Banyak orang yang belum tahu akan ajaran kepemimpinan Astabrata itu yang berasal dari Delapan Dewa Lokapala (Penjaga Dunia) sehingga untuk membantu menerjemahkan naskah-naskah kuno itu, dia dibantu dua tim besar yaitu tim kajian di perpustakaan dan tim pembatik.

Dikenal konsisten dan gigih melestarikan batik dan wastra Nusantara lainnya dengan selalu mengenakan kain batik dan berkebaya saat tampil di depan publik, dirinya juga terus membatik karena batik juga memiliki nilai ekonomi tinggi.

Ia pun bercerita betapa mahal harga batik tulis kreasinya karena dibuat secara personal dalam proses panjang dan sangat detail. Bahkan, untuk pengerjaan satu motif batik saja dapat memakan waktu hingga 6 bulan.

Apalagi batik karyanya merupakan batik tulis dengan pola bolak-balik persis, sampai ke titik-titiknya.

Mahalnya batik tulis karyanya karena hanya tercipta sekali. Kalaupun dibuat tiruannya, sentuhan garis dan warnanya pasti akan sangat berbeda dengan aslinya.

Perempuaan asli Semarang, Jawa Tengah, itu juga berpandangan bahwa suatu bangsa kehilangan kain tradisional itu sama seperti kehilangan satu tradisi. Karena itulah GKBRAy Paku Alam gigih dan konsisten mencintai batik.

Selain membatik untuk koleksi dan dijual, ia juga berusaha mengangkat batik-batik yang hampir punah. Salah satunya batik anyaman pandan laut. Alasannya karena yang menganyam adalah simbah-simbah (nenek-nenek) di pesisir Kabupaten Bantul.

Melihat kondisi tersebut, Gusti Putri berupaya agar para simbah pengrajin pandan laut bisa naik kelas.

Upaya lainnya, Gusti Putri yang juga merupakan President of Traditional Textile Arts Society of South-East Asia (TTASEA) ini juga berencana menggelar lomba melukis di atas tas anyaman pandan pada ajang ICRAFT tahun ini.

Hasil dari lomba tersebut nantinya dijual atau dilelang. Hal itu merupakan salah satu upaya membuat UMKM naik kelas dan meningkatkan kesejahteraan pelaku UMKM.

Hal tersebut didasari kenyataan bahwa selama ini perajin atau penganyam pandan laut menjual hasil anyamannya tersebut hanya Rp20.000.

Dalam ajang tersebut, anyaman pandan laut itu akan dijual minimal Rp50.000. Melalui ajang tersebut, karya perajin anyaman dihargai lebih tinggi.

Sudah selayaknya karya perajin dinilai sebagai produk seni, bukan komoditas kodian.












 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023