Walaupun tidak pernah ada warga kami yang kena COVID-19 berkat leluhur dan Tuhan, kami tetap perlu 'sedia payung sebelum hujan'
Jakarta (ANTARA) - Presiden RI Joko Widodo dalam agenda penutupan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 November 2022 di Bali menegaskan kolaborasi dan kesetaraan dapat membawa Indonesia menuju situasi endemi COVID-19 serta meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Hingga sekarang, etape transisi untuk melepas jerat pandemi memang sudah berada di jalur yang tepat, sebab indikator kasus positif masih menunjukkan situasi terkendali pada kasus terendah dalam kurun 4 bulan terakhir meskipun angkanya berfluktuasi.

Indikator pandemi yang terkendali dapat dilihat pada laju positivity rate 2 pekan terakhir. Walau meningkat 1,34 persen menjadi 1,87 persen, angka ini belum melampaui ambang batas aman sebesar 5 persen. Pun perawatan di rumah sakit tetap di bawah ambang 5 persen meski trennya meningkat, dari 2,13 persen ke 2,22 persen, laju kematian masih dapat ditekan kurang dari 3 persen, walau masih ada dua hingga tiga kematian dalam 2 pekan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum menyatakan pandemi usai. Di Indonesia, tantangan memvaksinasi minimal 97 persen populasi lansia dan kelompok rentan, masih dihambat kondisi geografis negeri ini, khususnya daerah terpencil dan kepulauan.

Indonesia sebagai negeri kepulauan tak hanya menyimpan keanekaragaman dan keindahan alam tapi juga budaya yang kental dengan masyarakat adat.

Pulau Sumba, misalnya, menyabet nominasi sebagai The Best Beautiful Island in The World versi majalah Focus Jerman pada 2018.

Capaian itu juga didukung laporan statistik potensi desa pada tahun itu bahwa sebanyak 19,03 persen desa wisata terpusat di NTT. Salah satu representasi terbaik keindahan Pulau Sumba dapat dijumpai wisatawan di Desa Adat Ratenggaro.

Namun, hingga 3 tahun pandemi, isu tentang kesetaraan memperoleh vaksin COVID-19, belum dirasakan sekitar 50 jiwa penduduk asli Ratenggaro, khususnya kelompok rentan seperti disabilitas dan lansia yang kini bertengger di puncak risiko kematian.
 
Masyarakat suku adat di Desa Ratenggaro, Sumba Barat Daya, NTT, mengikuti kegiatan vaksinasi COVID-19, inklusif, Minggu (12/3/2023). ANTARA/HO-Save The Children


Dashboard vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan RI melaporkan hingga 15 Maret 2023 capaian vaksinasi dosis lengkap di NTT sebanyak 66,59 persen, 82,70 persen penerima dosis pertama dari total sasaran 4,43 juta penduduk.

Menyandang status sebagai desa wisata, tentunya masyarakat adat di timur Indonesia itu masuk dalam klasifikasi kelompok rentan yang membutuhkan perlindungan ekstra dosis penguat atau booster.

Namun, baru 19,90 persen di antaranya yang memperoleh dosis penguat pertama, 0,44 persen booster kedua dari total sasaran masyarakat rentan di NTT berkisar 2,40 juta jiwa dan 405 ribu lebih lansia.

Ikhtiar mewujudkan kesetaraan vaksinasi hingga pelosok, sejauh ini masih dihadapkan pada hambatan distribusi vaksin, ketakutan efek samping, hingga adanya stigma terhadap vaksin.

Kemitraan Australia-Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) melaporkan satu dari dua orang lansia di NTT hingga kini belum menerima vaksinasi lengkap, sedangkan capaian booster pertama setara dengan sembilan dari sepuluh lansia belum pernah menerima vaksin penguat pertama.

Kesaksian Kepala Lembaga Adat Ratenggaro Donatus Jamabohe yang dijumpai di Sumba Barat Daya, Ahad (12/3), menyebut keinginan penduduk sekitar untuk divaksin belum didasari atas kesadaran individu atas pentingnya perlindungan untuk kesehatan, melainkan sebatas motivasi ekonomi.

Berbagai kebijakan sosial, seperti dana desa, pemberian sembako, hingga pengambilan bansos tunai di kantor pos hanya bisa diterima oleh mereka yang sudah divaksinasi. Umumnya, warga butuh vaksin untuk keperluan perjalanan lintas desa bahkan pulau, untuk bekerja atau sekadar menghadiri undangan keluarga dan beribadah.

Donatus menyadari bahwa dicabutnya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada akhir tahun lalu kembali membuka kran kedatangan turis, rata-rata berkisar 20 hingga 50 orang, setelah tahun lalu sempat rontok diterjang pandemi.

"Walaupun tidak pernah ada warga kami yang kena COVID-19 berkat leluhur dan Tuhan, kami tetap perlu 'sedia payung sebelum hujan' melalui vaksinasi. Masih ada warga yang berpikir, kalau tidak divaksin, tidak dapat bantuan pemerintah," katanya.


Tantangan akselerasi

Siang itu jarum pendek jam belum menunjuk angka 12, udara hangat berembus dari arah Laut Ratenggaro yang sedang membiru, sebiru langit yang menjadi atapnya. Gelombang laut menepi perlahan, seketika berbuih menyapu hamparan pasir putih di antara daratan berbatu karang.

Berjarak hanya selemparan batu ke arah selatan daratan, bersemayam para leluhur Suku Garo yang wafat dalam pertempuran antarsuku di zaman dulu. Sejauh mata memandang, bangunan yang tampak hanya deretan nisan tua dari bongkahan batu karang yang ditumpuk membentuk kotak persegi empat.

Area sakral itu dibelah jalan setapak menghubungkan tepi pantai menuju Desa Adat Ratenggaro, Kecamatan Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya.

Di desa itu, kaum mama dan bapak tua beranjak dari peraduannya untuk memenuhi undangan vaksinasi inklusif yang dihelat melalui kolaborasi IHSP bersama Save the Children dan Circle of Imagine Society (CIS) Timor.

Bertempat di sisi timur rumah adat Umapangemba, tak kurang dari 400 warga Ratenggaro dan sekitarnya mengantre di meja layanan vaksinasi. Tim vaksinator dari Puskesmas Walla Ndimu membagi dua gelombang layanan hingga sore hari.
 
Masyarakat suku adat dari sejumlah desa adat di Sumba Barat Daya, NTT, mengikuti kegiatan vaksinasi COVID-19, inklusif, Minggu (12/3/2023). ANTARA/Andi Firdaus


Kepala Puskesmas Walla Ndimu, Debora Kaka, menyebut layanan jemput bola efektif untuk mengakselerasi cakupan vaksinasi yang tertinggal di kalangan masyarakat adat. Sebab, untuk mendatangkan masyarakat desa adat butuh jarak tempuh puluhan kilometer hingga sampai di puskesmas. Itu pun belum tentu vaksin tersedia.

Transportasi bus antardesa dengan tarif Rp50 ribu untuk sekali pemberangkatan adalah alternatif penghubung layanan bagi mereka yang tak memiliki kendaraan bermotor. Itu artinya, butuh minimal Rp100 ribu per orang hanya untuk memperoleh suntikan vaksin di puskesmas.

Dapat dimaklumi, jika sebagian masyarakat setempat lebih memilih bekerja di kebun, hingga menjadi pemandu wisata dalam mengisi kekosongan waktu. Hoaks juga menjadi tantangan lainnya, sebab tak sedikit yang takut meninggal karena efek samping vaksin.

Kabar tentang kepentingan bisnis dalam program vaksinasi nasional juga sampai hingga ke desa-desa adat di NTT. Bahkan, masih ada yang khawatir tentang kabar bohong terkait penanaman chip melalui cairan vaksin.

Dari hasil kerja sama program percepatan vaksinasi yang terjalin sejak Oktober 2022, tantangan utama yang dirasakan tim percepatan vaksinasi masih berkutat pada strategi menyeimbangkan ketersediaan vaksin dengan permintaan warga. Kemenkes melaporkan, stok vaksin yang tersedia di Sumba Barat Daya saat hanya berkisar 800-an dosis, yang cukup untuk persediaan kurang dari sepekan.

Di sisi lain, sejak diberlakukan persyaratan vaksinasi COVID-19 bagi penerima bantuan sosial per akhir 2022 di Sumba Barat Daya, animo warga untuk divaksin mulai meningkat. Hingga saat ini, jumlahnya mencapai 2.780 penerima dosis pertama, 2.264 penerima dosis kedua, dan 2.244 penerima dosis ketiga, dari total masyarakat sasaran berkisar 8.000-an orang di delapan desa.

Dengan laju suntikan berkisar rata-rata 400 dosis di Sumba Barat Daya, sebenarnya termasuk lambat. Umumnya, masyarakat setempat sangat menantikan pendekatan layanan dari kampung ke kampung melalui penyisiran vaksinator. Tapi, hambatan cuaca hujan hingga angin kencang kerap menghentikan laju delapan petugas vaksinasi puskesmas setempat.
Kepala Puskesmas Walla Ndimu Debora Kaka, memperlihatkan kemasan vial vaksin COVID-19 produksi Pfizer di Sumba Barat Daya, NTT, Minggu (12/3/2023). ANTARA/Andi Firdaus



Di antara mereka yang antusias mengikuti program vaksinasi di Desa Ratenggaro, ada saja yang kecewa saat harus disuntik ulang dosis pertama karena terlambat memenuhi ketentuan interval maksimal 6 bulan.

Belum lagi mereka yang terpaksa ditolak petugas, sebab vaksin Covovax yang mereka terima sebelumnya, tidak cocok dengan regimen vaksin Pfizer yang tersedia pada hari itu.

Petugas juga mencatat, sekitar 500-an penduduk bermasalah secara nomor induk kependudukan (NIK) sehingga vaksin yang mereka terima tak bisa diinput dalam aplikasi pencatatan Primary Care. Solusinya, data mereka dicatat secara manual, sambil menunggu proses aktivasi ulang dari KTP konvensional ke KTP elektronik di kelurahan.


Kolaborasi

Pesan Presiden Joko Widodo terkait kolaborasi, nyatanya direspons dengan baik oleh Pemerintah Australia melalui program akselerasi vaksinasi COVID-19 bagi kelompok rentan di empat kabupaten di NTT, yakni Sabu Raijua, Belu, Timor Tengah Selatan, dan Sumba Barat Daya.

Dukungan tersebut direalisasikan melalui peran AIHSP bekerja sama dengan Save the Children Indonesia dan Circle of Imagine Society (CIS) Timor yang bergulir sejak Agustus 2022.

Provincial Coordinator AIHSP NTT Mei Tatengkeng mengemukakan program tersebut memastikan kelompok rentan dapat terlindungi dari COVID-19 melalui vaksinasi, program ini juga bertujuan untuk memberikan akses kesehatan yang inklusif.

Kedua organisasi kemanusiaan itu sudah menyelenggarakan 124 vaksinasi COVID-19 inklusif di 35 desa di NTT dengan menjangkau 9.897 orang peserta, termasuk 871 lansia, 66 penyandang disabilitas, 9.052 anggota keluarga pra-sejahtera, 778 orang yang tinggal jauh dari layanan kesehatan, serta kelompok rentan lainnya.

Kegiatan itu diselenggarakan berkat kerja kolaboratif dengan organisasi masyarakat sipil, organisasi berbasis komunitas, organisasi penyandang disabilitas, dan aktor lokal lain yang menjadi mitra program kerja.
warga desa adat Ratenggaro menjalani kegiatan vaksinasi COVID-19 dosis booster pertama di Sumba Barat Daya, NTT, Minggu (12/3/2023). ANTARA/Andi Firdaus


Selain mendekatkan layanan vaksinasi dengan membuat sentra vaksinasi di desa maupun kampung adat, program tersebut juga melibatkan kader puskesmas untuk menjangkau kelompok rentan, seperti lansia dan penyandang disabilitas yang mengalami hambatan pergerakan.

Semangat kolaborasi dan kesetaraan untuk akses kesehatan di daerah terpencil Indonesia belumlah usai. Jangan ada satu pun warga masyarakat yang tertinggal di tengah proses diskusi intensif pemerintah Indonesia dengan beberapa negara yang siap berdeklarasi endemi pada tahun ini.











 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023