Jakarta (ANTARA) - Tahun ini Indonesia memasuki era baru perdagangan karbon. Karbon adalah elemen utama semua makhluk hidup.

Namun pada era ini, karbon menjadi mata uang di tengah perubahan iklim yang dapat berperan penting pada sektor ekonomi di sebuah negara.

Karbon seperti telah menjadi crypto currency terbaru dengan bursa karbon. Hal itu ditandai dengan skema perdagangan karbon untuk perusahaan pembangkit listrik tenaga batu bara.

Perubahan iklim terjadi karena ketidakseimbangan siklus karbon di bumi. Industrialisasi telah melepaskan lebih banyak karbon dioksida (CO2) ke atmosfer dibanding zaman sebelumnya. CO2 merupakan salah satu gas rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global.

Sumber utama polusi CO2 ke udara adalah dari penggunaan bahan bakar yakni minyak dan batu bara. Minyak dan batubara sendiri adalah deposit karbon raksasa di muka bumi melalui proses yang berjalan jutaan tahun. Unsur utama batu baru adalah karbon sama seperti intan maupun graphit.

Begitu juga minyak bumi, yang merupakan hasil endapan bangkai makhluk hidup selama jutaan tahun. Yang membedakan adalah proses pembentukannya. Ketika batu bara dan minyak bumi dimanfaatkan, maka karbon di dalamnya terlepas ke atmosfer sebagai CO2.

Penghasil emisi CO2 kedua tertinggi di dunia adalah perubahan lahan dan penggunaan lahan gambut. Hutan menyerap CO2 dan mengandung karbon di pohon dan tanah.

Ketika hutan ditebang, maka sebagian besar karbon di hutan tersebut hilang dan terlepas ke atmosfer.

Salah satu mekanisasi untuk mengurangi emisi CO2 adalah mengenakan pajak ke penghasil CO2 tertinggi. Para pemimpin G20, termasuk Indonesia, telah menyetujui pajak emisi CO2.

Di Indonesia telah diterapkan skema “cap and tax” yang mewajibkan perusahaan membayar pajak jika emisi karbonnya melampaui batas yang ditetapkan pemerintah.

Sementara ini, perdagangan karbon diterapkan untuk perusahaan pembangkit listrik batu bara. Guna menghasilkan listrik, perusahaan energi membakar batu bara yang menghasilkan CO2.

Perusahaan listrik tersebut diberi kuota jumlah CO2 yang boleh dilepaskan.

Jika suatu perusahaan melampaui kuota tersebut, maka si perusahaan wajib membeli kuota CO2 dari perusahaan lain atau membayar pajak.

Mekanisme pajak menjadi peluang bagi Indonesia untuk mendapatkan karbon kredit. Indonesia perlu membuat strategi agar neraca karbon balance alias seimbang.

Pada kondisi tersebut disebut net zero yaitu ketika emisi (pelepasan) karbon diimbangi oleh sekuestrasi (penyerapan) karbon.

Serap CO2

Perusahaan energi di negara-negara Eropa, Amerika, dan Australia aktif mencari dan membeli karbon kredit di negara berkembang termasuk Indonesia. Sebagai contoh, beberapa perusahaan Eropa aktif menanami hutan bakau di pesisir Sumatera dalam rangka menambat karbon.

Jeremy Prananto dari PT Eco Panacea Internasional, menyatakan sekuestrasi merupakan penyerapan CO2 dari atmosfer.

Teknologi modern untuk menyerap CO2 masih terbatas dan mahal. Namun, Indonesia memiliki peluang dengan memanfaatkan kekayaaan alam Indonesia untuk penyerapan karbon alami yang disebut solusi alami atau “natural solutions”.

Teknologi alami paling efektif adalah fotosintesis yang menyerap CO2 dari atmosfer dan dikonversi ke biomassa. Tetapi triknya, biomassa tersebut tidak boleh kembali ke atmosfer. Contohnya adalah penanaman hutan atau konservasi.

Salah satu sumber lahan yang unik di Indonesia adalah hutan bakau dan gambut. Selama ini pengelolaan gambut menjadi isu kontroversi di Indonesia.

Penelitian Jeremy yang terbit di jurnal bergengsi Global Change Biology menemukan bahwa gambut yang didrainase menghasilkan emisi gas rumah kaca bukan hanya CO2, tetapi juga gas N2O yang 270 kali lebih keras efek rumah kacanya dari CO2.

Namun, Jeremy juga menemukan bahwa gambut yang muka air tanahnya tinggi, emisi gas rumah kacanya lebih rendah. Emisi gas rumah kaca dapat dikurangi lebih dari sepertiga.

Hutan bakau atau mangrove di tepian daratan dan lautan yang mendapat air pasang surut juga merupakan hutan yang paling tinggi menyerap karbon. Kapasitas hutan bakau dua sampai empat kali lebih besar daripada hutan tropis.

Mangrove mampu menyerap karbon yang tinggi dibanding hutan lahan kering karena di lahan basah serasah daun dan biomassa mangrove menumpuk dalam suasana tergenang sehingga penguraian yang melepaskan karbon berjalan lambat. Berbeda dengan biomassa di lahan hutan kering yang cepat terurai sambil melepas karbon.

Merehabilitasi dan menanami hutan mangrove bukan saja meningkatkan sumber daya hayati tapi juga bisa melawan perubahan iklim melalui serapan CO2.

Karbon kredit merupakan peluang bagi petani dan pemilik lahan untuk berkontribusi mengurangi emisi nasional. Indonesia mempunyai komitmen dalam menurunkan emisi gas rumah kaca dan mencapai pembangunan rendah emisi dan berketahanan iklim.

Restorasi lahan gambut, hutan mangrove, dan industri kayu berkelanjutan akan membantu mencapai neraca karbon yang seimbang.

Ketika perusahaan luar negeri ramai-ramai membeli karbon di Indonesia dengan menanam hutan bakau, tentunya lebih menguntungkan jika perusahaan Indonesia yang mengelola karbon tersebut.

Tentu dibutuhkan manajemen dan perhitungan yang akurat agar keuntungan yang didapat berdampak besar bagi masyarakat.

Di sisi lain segi teknis budidaya mangrove untuk memulihkan pesisir harus ditingkatkan. Di masa lalu banyak penanaman mangrove kurang berhasil karena gagal membuat lingkungan yang nyaman bagi bibit mangrove pada periode-periode awal kehidupan.

Gempuran ombak besar misalnya, dapat menghanyutkan bibit mangrove yang baru ditanam ke daerah lain yang jauh dari lokasi awal penanaman.

Periode awal itu merupakan masa paling kritis yang menentukan tingkat keberhasilan penanaman mangrove. Ketika teknologi teknis budidaya dikuasai, Indonesia dapat mengambil keuntungan dari mata uang baru bernama karbon.


*) Prof. Budiman Minasny; Profesor Ilmu Tanah dan Lingkungan Sydney University.

Copyright © ANTARA 2023