Jakarta (ANTARA) - Sebuah studi baru telah membantu mengembangkan tes darah untuk menemukan risiko seseorang mengalami gangguan mental “anxiety” atau kecemasan, serta tingkat keparahannya.

Tes ini juga dapat memprediksi apakah seseorang cenderung menjadi lebih cemas di masa depan dan juga faktor lain, seperti perubahan hormon yang dapat memengaruhi kecemasan.

Setelah divalidasi oleh tim peneliti dari Fakultas Kedokteran Indiana University, Amerika Serikat (AS), tes darah sudah dibuat oleh perusahaan startup MindX Sciences untuk penggunaan klinis.

"Banyak orang menderita kecemasan, yang bisa sangat melumpuhkan dan mengganggu kehidupan sehari-hari," kata Ahli Saraf Psikiatri dari Indiana University School of Medicine, Alexander Niculescu, seperti dilaporkan Medicaldaily yang dikutip Rabu.

"Memiliki sesuatu yang objektif seperti ini membuat kita dapat mengetahui keadaan terkini seseorang, risiko masa depan mereka, serta pilihan pengobatan apa yang cocok, sangat kuat dalam membantu orang," tambah Niculescu.

Baca juga: Belajar musik dapat tingkatkan kemampuan otak dan turunkan kecemasan

Dalam studi yang diterbitkan dalam jurnal Molecular Psychiatry, tim peneliti merekrut pasien di Indianapolis VA Medical Center untuk mengkorelasikan tingkat kecemasan dan mengidentifikasi biomarker darah spesifik yang terkait dengan masalah mental.

Adapun biomarker adalah penanda biologis seseorang. Biomarker dapat didefinisikan sebagai respons biologis dari suatu organisme dan memiliki karakteristik yang unik, sehingga dapat membantu banyak hal dalam dunia kesehatan.

Dari penelitian tersebut, peneliti menemukan 19 biomarker darah yang dapat digunakan untuk meramalkan perubahan kecemasan.

Menguji sampel darah adalah metode yang nyaman, lebih murah, dan lebih mudah untuk mendiagnosis masalah di dalam tubuh.

"Pendekatan yang ada selama ini adalah berdialog dengan pasien tentang bagaimana perasaan mereka sebagai cara diagnosis apakah mereka harus menjalani pengobatan, tetapi beberapa obat penanganan kecemasan dapat membuat ketagihan yang justru menimbulkan lebih banyak masalah," jelas Niculescu.

"Kami ingin melihat apakah pendekatan kami untuk mengidentifikasi biomarker darah dapat membantu mencocokkan orang dengan obat yang ada, ini akan bekerja lebih baik dan bisa menjadi pilihan yang tidak membuat ketagihan," tambah peneliti.

Baca juga: Ketahui sebab munculnya "overthinking" dan cara mengatasinya

Tes darah ini juga dapat memprediksi masalah kecemasan di masa depan dan diharapkan dapat membantu dalam mencegah gangguan kecemasan sebelum orang-orang mengalaminya.

"Ada orang yang mengalami kecemasan dan tidak terdiagnosis dengan benar, kemudian mereka mengalami serangan panik, tetapi mengira mereka mengalami serangan jantung dan berakhir di UGD dengan segala macam gejala fisik," komentar Niculescu.

"Jika kita bisa mengetahuinya lebih awal, mudah-mudahan kita bisa menghindari rasa sakit dan penderitaan ini dan menangani mereka lebih awal sesuai dengan profil masing-masing individu," tambahnya.

Lebih lanjut, para peneliti menyoroti fakta bahwa tidak semua pasien merespon dengan baik terhadap perawatan kecemasan yang ada selama ini, yang merupakan bukti pentingnya menemukan perawatan baru dan lebih baik.

Tim peneliti berharap tes biomarker ini akan membantu menyelaraskan pasien dengan obat yang tepat, menemukan kemanjuran obat, dan menemukan cara untuk menggunakan kembali obat lama.

"Ini adalah sesuatu yang bisa menjadi tes panel sebagai bagian dari kunjungan kesehatan rutin pasien untuk mengevaluasi kesehatan mental mereka dari waktu ke waktu dan pencegahan lebih baik dalam jangka panjang," kata Niculescu.

Baca juga: Dokter: Sering lupa bisa sebabkan gangguan kecemasan

Kasus gangguan kecemasan di Indonesia
Gangguan kecemasan ini bukan lah hal yang dapat disepelekan, tidak sedikit orang Indonesia yang mengalami hal ini, termasuk yang tidak terdiagnosis.

Pada 2021 lalu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut angka gangguan kecemasan yang dialami oleh masyarakat Indonesia mengalami kenaikan sebesar 6,8 persen selama masa pandemi COVID-19.

Ia menyebutkan selain angka gangguan kecemasan, angka pada gangguan depresi ikut mengalami peningkatan sebesar 8,5 persen. Sehingga apabila melihat proyeksi jumlah penduduk di Indonesia, hal tersebut benar-benar membutuhkan penanganan yang serius.

Berdasarkan data Kemenkes sepanjang tahun 2020, sebanyak 18.373 jiwa mengalami gangguan kecemasan, lebih dari 23.000 mengalami depresi dan sekitar 1.193 jiwa melakukan percobaan bunuh diri.

Baca juga: Benarkah berolahraga bisa ringankan depresi?

Baca juga: Psikolog: Anak bisa depresi jika stres berkepanjangan

Baca juga: Cara pandang pengaruhi seseorang dalam menyelesaikan masalah


Penerjemah: Pamela Sakina
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2023