Saya benar-benar sudah bertobat.
Cirebon (ANTARA) - Bangunan yang terletak di Jalan Kesambi, Kota Cirebon, Jawa Barat, terlihat kokoh, padahal usianya sudah melampaui 1 abad. Bangunan itu berdiri sejak masa kolonial Belanda tepatnya pada tahun 1918.

Kesan sangar dan menakutkan begitu melekat pada bangunan yang dikelilingi pagar  menjulang tinggi dan dililit kawat berduri.

Tidak sembarang orang bisa masuk kawasan tersebut karena ada penjagaan yang berlapis, mulai dari pintu gerbang utama, lobi, dan ruangan lainnya, semua yang masuk harus melalui pemeriksaan ketat.

Tidak hanya diperiksa secara manual, pengunjung juga harus melewati adangan mesin Sinar X, agar semua barang bawaan mereka bisa terdeteksi dengan akurat.

Bangunan tua nan sangar itu adalah Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Kesambi, Kota Cirebon, yang di dalamnya dihuni 915 narapidana (napi) atau warga binaan, dari berbagai tindak kejahatan.

Masa hukuman yang harus dijalani juga beragam, bahkan ada 15 warga binaan dengan vonis mati, 56 seumur hidup, dan lainnya di atas 5 tahun.

Meskipun di dalam lapas, bukan berarti mereka harus terkurung semuanya. Mereka masih berhak mendapatkan pengetahuan serta pembekalan ketika sudah dinyatakan bebas dari hukuman.


Bekal agama

Agama menjadi salah satu hal yang paling mendasar dalam kehidupan sehingga perlu terus dipupuk sedini mungkin, agar dalam mengarungi perjalanan di dunia ini bisa terarah.

Semua agama yang ada mengajarkan kebaikan, cinta, dan kasih sayang sehingga ketika semua berpegang teguh dan mengimaninya, mereka akan terhindar dari kealpaan yang berujung sengsara.
Warga binaan Lapas Kelas I Kesambi Kota Cirebon, saat tadarus di Masjid At-Taubah di Cirebon, Jawa Barat, Selasa (28/3/2023). ANTARA/Khaerul Izan
Begitu juga warga binaan yang berada di Lapas Kelas I Kesambi, Kota Cirebon, mereka dibekali ilmu agama, baik Islam, Kristen, Hindu, dan lainnya, sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Bagi narapidana yang beragama Islam, mereka mendapatkan beragam ilmu pengetahuan tentang agama, mulai dari bacaan Al Quran, ilmu fikih, tauhid, dan lainnya.

"Kami mempunyai program pemberantasan buta huruf Al Quran, yang mana narapidana mendapat bimbingan dari santri Ponpes Buntet, dan juga dari warga binaan yang sudah paham," kata Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Kesambi Kota Cirebon Kadiyono.

Metode yang digunakan dalam pengajaran narapidana juga mengadopsi sistem yang ada di pondok pesantren. Mereka nantinya akan mengikuti sesuai dengan kelas masing-masing, dan tingkatkannya akan disesuaikan dengan kemampuannya.

Pengajar dari Ponpes Buntet Cirebon Agung Firmansyah mengatakan sudah bekerja sama dengan Lapas Kelas I Kesambi selama 2 tahun dalam memberikan ilmu agama kepada para narapidana.

Metode yang digunakan sama persis dengan apa yang diajarkan di pesantren, bahkan ada sistem musyawarah.  Pengajar dan narapidana akan berdiskusi terkait pengetahuan agama, seperti tauhid atau ketuhanan, ilmu fikih, akhlak, dan membaca Al Quran.

Metode tersebut diharapkan bisa menjadikan narapidana lebih baik dalam memahami, bukan sekadar mendengarkan ceramah, melainkan bisa berinteraksi satu sama lainnya.

"Setelah kami datang ke sini (lapas) ternyata banyak narapidana yang haus akan pengetahuan agama sehingga tidak bisa sekadar diberi ceramah," kata Agung di sela mengajar di Masjid At-Taubah Lapas Kelas I Kesambi.


Keterampilan kerja

Bekal yang diberikan kepada narapidana tidak  hanya terkait agama, tetapi juga keterampilan hidup, agar ketika sudah meninggalkan jeruji besi, mereka memiliki bekal mengais rezeki.
Warga binaan Lapas Kelas I Kesambi Kota Cirebon, menganyam rotan sintetis untuk dijadikan kursi di Cirebon, Jawa Barat, Selasa (28/3/2023). ANTARA/Khaerul Izan)l
Beragam keterampilan disediakan di Lapas Kelas I Kesambi, mulai dari menjahit, mengoperasikan mesin bordir, sablon,  menganyam rotan, pangkas rambut, serta lainnya.

Mereka bukan sekadar bisa mengoperasikannya, melainkan sudah menghasilkan uang dari kegiatannya itu. Lapas Kesambi pun telah menjalin kerja sama dengan pihak ketiga.

Hasil produksi narapidana dapat dijualbelikan antara lembaga pemasyarakatan, seperti produk konveksi. Bahkan sudah ada yang sampai diekspor ke luar negeri, terutama untuk kerajinan rotan.

Kadiyono, Kepala Lapas Kelas I Kesambi, menyatakan lapas ini memang terkenal dengan adanya pabrik di dalamnya karena sejak zaman kolonial Hindia Belanda, terdapat pabrik tenun, dan sampai saat ini pun masih ada.

Akan tetapi, mesin tenun itu sudah tidak lagi dioperasikan karena telah termakan zaman sehingga ruangan tersebut kini digunakan untuk beragam kegiatan pekerjaan.

Kini di dalam ruangan tersebut dan berjejer mesin konveksi, seperti sablon, bordir, mesin jahit, serta tempat pengerjaan kerajinan lainnya.

Narapidana juga mendapatkan premi dari hasil kerjanya sehingga di dalam lapas tidak hanya mengandalkan dari keluarga, tetapi bisa menghasilkan rezeki.

Narapidana Lapas Kelas I Kembali yang berasal dari Bandung Dadang Sujono (32) mengaku dengan adanya pembekalan beragam keterampilan, membuat dirinya tidak jenuh selama menjalani hukuman.

Terpidana seumur hidup akibat terlibat kasud pembunuhan berencana itu mengatakan sangat terbantu dengan program yang diadakan pihak lapas, bahkan dirinya kini sudah bisa menghasilkan premi (uang) dari hasil kerjanya.

"Sebelum masuk ke Lapas Cirebon, saya pernah di Lapas Bandung, dan alhamdulillah di sini banyak kegiatan positif yang saya dapatkan," katanya.


Mengikis stigma negatif

Stigma penjara merupakan sekolah bagi para penjahat untuk menjadi penjahat yang lebih tinggi belum terhapus hingga sekarang. Masih ada bekas narapidana yang keluar masuk bui karena terlibat kasus yang sama, dan bahkan lebih besar.

Stigma yang kadung melekat seperti itu perlu dihilangkan, agar nantinya para narapidana ketika sudah keluar bisa mendapatkan kehidupan yang layak.

Untuk itu program yang ada di dalam Lapas Kelas I Kesambi perlu terus ditingkatkan baik masalah rohani maupun duniawi.

Tujuannya, agar narapidana yang sudah keluar benar-benar memperoleh pelajaran bermanfaat, tidak lagi melakukan tindakan pidana dan menjadi benalu di masyarakat.

"Saya benar-benar sudah bertobat. Semoga setelah keluar nanti tidak lagi berurusan dengan tindak pidana," kata narapidana Lapas Kelas I Kesambi Nur Sofyan saat mengajar baca Al Quran kepada narapidana lainnya.

Yeye, sapaan akrabnya,--yang telah divonis penjara seumur hidup atas kasus pembunuhan berencana--mengaku lebih baik lagi dari pada sebelum masuk penjara, dan bahkan kini menjadi salah satu narapidana yang menjadi pengurus masjid.

Ia menjadi salah satu contoh keberhasilan pembinaan yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan. Sukses ini diharapkan menular kepada narapidana lainnya.








 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023