Washington (ANTARA) - Pemimpin otoritas Tibet dalam pengasingan yang berbasis di India pada Kamis menyatakan kepada Kongres Amerika Serikat bahwa Tibet "mati perlahan" di bawah rezim China.

Beberapa aktivis Tibet menyayangkan apa yang mereka anggap sebagai meredupnya fokus komunitas internasional terhadap dugaan pelanggaran di Tibet di tengah meningkatnya kekhawatiran Washington dan negara-negara Barat terhadap tekanan China atas Taiwan, masalah Hong Kong, dan nasib kelompok minoritas di daerah Xinjiang.

"Jika PRC (Republik Rakyat China) tidak dipaksa untuk membatalkan atau mengubah kebijakannya sekarang, Tibet dan rakyat Tibet akan mati perlahan," kata Penpa Tsering, pemimpin organisasi Pemerintahan Tibet Pusat (CTA), dalam rapat dengar pendapat Komisi Eksekutif Kongres tentang China via telekonferensi.

Jabatan pemimpin CTA, yang disebut Sikyong, dibentuk tahun 2012 setelah Dalai Lama, pemimpin spiritual Tibet yang sudah berusia 87 tahun, melepaskan wewenang politiknya kepada organisasi yang akan dapat melanjutkannya setelah ia meninggal.
Baca juga: Proyek PLTS berkapasitas 120.000 kilowatt di Tibet mulai beroperasi

Seorang sumber internal kongres menyatakan dalam dengar pendapat tersebut untuk pertama kalinya seorang Sikyong berbicara kepada Kongres AS, dan hal tersebut bisa memicu kemarahan China.

Beijing menuding Dalai Lama memantik gerakan separatisme di Tibet dan menolak mengakui CTA, yang mewakili sekitar 100 ribu eksil Tibet yang tersebar di sekitar 30 negara, seperti India, Nepal, Kanada, dan AS.

China menguasai Tibet sejak 1951 setelah mengerahkan militernya ke daerah tersebut untuk melancarkan apa yang mereka sebut "pembebasan damai". China membantah melakukan pelanggaran apapun di Tibet dan menyebut intervensi tersebut berhasil mengakhiri "perbudakan feodal yang terbelakang" di daerah itu.
Baca juga: China minta media Barat hormati fakta soal sekolah asrama di Tibet

Sementara itu, Uzra Zeya, menteri muda luar negeri untuk urusan demokrasi dan HAM, dalam dengar pendapat tersebut menyatakan China terus menindas 6 juta rakyat Tibet demi mewujudkan sinifikasi yang akan memusnahkan warisan agama, budaya, dan bahasa Tibet.

Laporan terkini mengenai sekolah asrama pemerintah dan pengumpulan paksa DNA di Tibet sangat "mengejutkan hati nurani", kata Zeya, yang memimpin usaha AS mendukung Tibet dalam tugasnya sebagai koordinator khusus masalah Tibet.

Anggota DPR AS dari Partai Republik Chris Smith, yang mengetuai dengar pendapat tersebut, menyatakan walaupun fokus masyarakat global kini tertuju pada Taiwan, Hong Kong, dan Xinjiang, genosida yang menimpa rakyat Tibet tidak boleh diabaikan begitu saja.

Selain itu, aktor dan aktivis pro-Tibet Richard Gere dalam dengar pendapat tersebut menyatakan kebijakan China di Tibet semakin mendekati definisi kejahatan terhadap kemanusiaan.


Sumber: Reuters

Baca juga: Istana Potala di Tibet akan dibuka kembali untuk umum
Baca juga: Jika terus provokasi Tibet, Beijing yakin AS ulangi kegagalan 1960-an

Penerjemah: Nabil Ihsan
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2023