AsiaNet 51534

DOHA, Qatar dan JAKARTA, Indonesia, 2 Desember 2012 (ANTARA/Medianet International-AsiaNet) --

LSM: penyalahgunaan 'persetujuan sebelumnya' atas penggunaan lahan oleh kelompok lingkungan hidup akan membatasi pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang

     LSM Pro-pembangunan World Growth telah memperingatkan terhadap kampanye oleh kelompok-kelompok seperti Greenpeace dan Rainforest Action Network untuk meminta persetujuan terlebih dahulu dari masyarakat setempat atas proyek kehutanan dan pertanian yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. LSM ini mengatakan kampanye tersebut merupakan tipu muslihat untuk memastikan bahwa kebijakan perubahan iklim internasional akan membatasi pertumbuhan ekonomi.

     Laporan baru World Growth -- yang bertajuk Who Decides: Community Consent and Land Use -- mempelajari tuntutan baru-baru ini oleh kelompok lingkungan hidup atas "Free Prior and Informed Consent" (FPIC) dari masyarakat setempat sebagai prasyarat atas pengembangan lahan. Ini mencakup studi kasus Indonesia di mana sengketa lahan biasa terjadi karena hukum yang tumpang tindih.
    
     "Greenpeace dan Rainforest Action Network sekarang menuntut agar FPIC juga menjadi syarat bagi tindakan oleh negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi. Laporan ini menunjukkan FPIC tengah digunakan sebagai alat politik untuk menghalangi pembangunan," kata Ketua World Growth Duta Besar Alan Oxley.

     "Free, prior and informed consent' (FPIC) telah menjadi tujuan kampanye aktivis lingkungan dalam beberapa tahun terakhir. Narasi FPIC untuk aktivis lingkungan sederhana: Sektor swasta terlibat dalam proyek yang berdampak negatif pada masyarakat lokal dan solusinya adalah memastikan masyarakat setempat melaksanakan FPIC sebelum proyek skala besar dimulai.

     "FPIC pada awalnya ditujukan untuk diterapkan pada pengaturan antara pemerintah dan kelompok pribumi berdasarkan kebiasaan mereka. Aktivis lingkungan seperti Greenpeace dan WWF telah mengambil FPIC dalam arah yang berbeda. Mereka ingin FPIC berlaku untuk semua proyek sumber daya, tidak hanya bagi kelompok pribumi, tetapi juga semua masyarakat yang "terpengaruh". Ini bukan tentang mendukung hak-hak masyarakat adat, tetapi juga tentang menghentikan pembangunan sama sekali."

     "Sejumlah kelompok aktivis lingkungan Barat telah merebut tanah sengketa di Sumatera, dengan memanfaatkannya untuk memprotes investasi sektor swasta di bidang pertanian dan kehutanan."

     "Dalam dua tahun terakhir terdapat sejumlah kasus konflik lahan terkemuka yang telah menyebabkan cedera dan kematian. Klaim sensasional seperti pemenggalan kepala bahkan dilaporkan ke media, dan kemudian didapati palsu."

     "Penelitian menunjukkan Indonesia telah memiliki mekanisme hukum dan peraturan untuk menangani sengketa tanah. Aktivis Barat telah mengabaikan ini dan malah menuntut agar pemilik tanah adat harus memiliki "free, prior and informed consent." (FPIC).

     "Menerapkan FPIC melampaui kelompok pribumi dapat merusak aturan hukum. Implikasi model Greenpeace-WWF adalah hak guna tanah dan properti yang dikukuhkan dalam kerangka hukum harus diabaikan, dan dibuat tunduk pada konsep menyeluruh FPIC yang akan mengatasi kerangka hukum yang ada.

     "Ini tampaknya lebih berkaitan dengan menghentikan proyek pembangunan sama sekali dengan mengganggu operasi dan meningkatkan persepsi risiko yang terkait dengan proyek-proyek tersebut."

     Baca laporan ini di: http://worldgrowth.org/site/wp-content/uploads/2012/11/FPIC_DEC12_web_sm.pdf

     Untuk menghubungi email pakar World Growth:
     info@worldgrowth.org atau
     telepon +61 3 9614 8022

     SUMBER: World Growth

Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2012