... pemerintah jelas terlalu menyederhanakan berbagai permasalahan struktural mendasar yang belum terselesaikan di Indonesia... "
Jakarta (ANTARA News) - Keputusan pemerintah membuka seluas mungkin pasar karbon dinilai terlalu terburu-buru mengingat masih banyak konflik terjadi di seputar hak tenurial dan hak atas tanah yang belum diselesaikan secara adil.

Manajer Advokasi Pengelolaan Ruang dan Perubahan Peruntukan Lahan Eksekutif Nasional WALHI, Deddy Ratih, mengatakan, "Dengan langkah itu, pemerintah jelas terlalu menyederhanakan berbagai permasalahan struktural mendasar yang belum terselesaikan di Indonesia." 

Perdagangan karbon menjadi isu penjuru dalam Konferensi Para Pihak (COP) ke-18 di Doha, Qatar, pada 26 November - 7 Desember nanti. Tentang perdagangan karbon ini, pemerintah mengklaim telah menyiapkan diri dengan Skema Karbon Nusantara, yang berbasis perdagangan karbon domestik suka-rela.

Selain masalah prinsipil itu, Ratih mengingatkan masalah lain yang sifatnya laten: tata kelola kehutanan yang masih sarat dengan nuansa KKN.

Aktivis Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim, Teguh Surya, mengatakan, "Pemerintah Indonesia kali ini justru mengambil langkah mendukung penuh mekanisme pasar berskema offset (perdagangan karbon) yang diinginkan negara-negara industri."

Skema ini dikembangkan Dewan Nasional Perubahan Iklim beberapa waktu yang lalu dan didukung Kementerian Kehutanan.

Sementara itu, Staf Program Kehutanan dalam Perubahan Iklim HUMA, Anggalia Permatasari, mengatakan, pemerintah Indonesia jelas sudah mendahului UNFCCC dalam hal perdagangan karbon dengan memasukkan REDD+ ke dalam SKN dan mendorong tautannya dengan pasar karbon internasional melalui mekanisme offset.

Langkah terjun bebas Indonesia dalam bisnis karbon masa depan juga ditunjukkan dengan menerbitkan izin menjalankan proyek REDD+ seluas 80.000 Ha di Kalimantan Tengah pada 30 November 2012, di sela-sela pertemuan COP 18. 

"Proyek tersebut akan mengikuti skema Verified Carbon Standard (VCS) dan Climate, Community and Biodiversity Alliance (CCBA) dan bertujuan memperdagangkan (offsets) kredit karbon yang dihasilkan," kata dia.

Menurut dia, penjelasan kebijakan Kementerian Kehutan berjudul REDD+ tidak identik dengan Carbon Trading. Sampai saat ini fase implementasi penuh masih dalam proses negosiasi, termasuk mekanisme pasar dan non-pasar, dan mekanisme pasar yang sedang dinegosiasikan. 

Hal tersebut tidak serta-merta merupakan carbon trading seperti halnya Clean Development Mechanism (CDM) di bawah Protokol Kyoto yang berbasis proyek. Hal ini tentu saja berbeda dengan kebijakan yang diambil pemerintah di Doha saat ini, yang notabene menunjukkan inkonsistensi dan kesimpangsiuran posisi pemerintah mengenai perdagangan karbon.

"Skema Karbon Nusantara menargetkan hutan kemasyarakatan sebagai penjual karbon yang artinya pasar karbon akan sampai ke kampung-kampung," kata dia. 

Sebagai kerangka regulasi awal untuk perdagangan karbon, Kementrian Kehutanan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 20/2012, April lalu, yang mengatur penyelenggaraan karbon hutan, termasuk REDD+ yang semula adalah proyek CDM (aforestasi dan reforestasi).

"Mekanisme Pasar Karbon yang detail akan diterbitkan dalam peraturan tersendiri. Ini berarti pemerintah telah membentangkan karpet merah regulasi dan mekanisme untuk perdagangan karbon hutan. Saat ini bersifat suka-rela, tapi dibayangkan di masa depan akan menjadi sebagai pemenuhan persyaratan (compliant)," ujar dia.

(A063)

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2012