Doha (ANTARA News) - Konferensi iklim PBB, yang sedang berlangsung, memulai pembicaraan tingkat tingginya di Ibu Kota Qatar, Doha, Selasa (4/12), setelah pekan pertama pertemuan nyaris tak membuat kemajuan.
Kepala negara atau pemerintah atau delegasi menteri dari lebih 190 negara ikut dalam tahap kedua pembicaraan, yang berlangsung sampai Jumat (7/12).
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, yang berbicara pada upacara pembukaan, mendesak semua peserta agar "meraih momentum bagi perubahan yang dibina dengan susah-payah di Bali, Poznan, Copenhagen, Cancun dan Durban".
Ban, yang merujuk kepada kesulitan memperoleh air, kemerosotan lahan, pencairan lapisan es, mengatakan, "Kita berlomba dengan waktu untuk tetap berada di bawah catatan dua derajat Celsius di atas tingkat pra-industri yang akan menghindari dampak terburuk perubahan iklim."
Amir Qatar Sheikh Hamad bin Khalifa Ath-Thani menghadiri upacara pembukaan dan menyoroti pentingnya upaya mengubah perubahan iklim dan perlindungan lingkungan hidup, demikian laporan Xinhua --yang dipantau ANTARA di Jakarta, Rabu pagi.
Amir tersebut juga menjanjikan sumbangan Qatar bagi teknologi hijau, yang dapat membantu mencapai keseimbangan optimal antara kebutuhan akan energi dan pengurangan buangan gas.
Christiana Figueres, Sekretaris Pelaksana Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim, mengingatkan semua delegasi bahwa "mata dunia" dan mendesaknya ilmu pengetahuan" tertuju kepada mereka. Ia mendesak mereka agar meningkatkan penyesuaian global jangka panjang dan reaksi pengurangan serta penyusunan jalu upaya masa depan.
Dalam pertemuan tingkat tinggi, semua peserta dijadwalkan mlanjutkan pembahasan dua masalah rumit yang belum diselesaikan di tingkat pembicaraan lebih redanh --perpanjangan Protokol Kyoto dan pelaksanaan dukungan keuangan yang dijanjikan negara maju.
Pembicaraan mengenai Protokol Kyoto pekan lalu dibadi dalam perincian masa komitmen kedua kesepakatan tersebut, termasuk lamanya dan kekuatan serta pelaksanaan izin karbon yang tak digunakan bagi perpanjangan itu.
Para perunding juga tak sependapat mengenai apakah akan mengizinkan semua negara yang berencana mundur dari Protokol Kyoto untuk terus memanfaatkan mekanisme pasarnya guna memenuhi sasaran pengurangan buangan gas nasional mereka.
Mengenai dukungan keuangan, negara berkembang menuntut transparansi mengenai sumbangan negara maju bagi program Mulai Cepat, yang sasarannya, 30 miliar dolar AS, yang dikatakan donor telah terlampaui.

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2012