Jakarta (ANTARA) - Yayasan PIKUL Indonesia menyampaikan penerapan transisi energi yang berkeadilan sangat penting untuk menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 31,89 persen yang tertera dalam dokumen Enhanced NDC.
 
Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL Indonesia Torry Kuswardono mengatakan langkah mitigasi krisis iklim dalam transisi energi prosesnya harus berkeadilan dan menjamin
terjadinya integrasi ekosistem, lingkungan, dan integritas sosial.
 
"Transisi energi tidak hanya berpatokan pada target penurunan emisi semata, tetapi harus mempertimbangkan siklus menyeluruh dari sektor energi dan dilakukan penilaian untuk melihat kemampuan adaptasi suatu daerah yang mengalami transisi energi dari berbagai faktor, serta bagaimana dampaknya," kata Torry di Jakarta, Senin.
 
Ia menyampaikan mitigasi energi yang tidak mempertimbangkan kemampuan adaptasi lingkungan ke depannya bisa memunculkan masalah baru, misalnya adanya kebijakan kendaraan listrik perlu dilakukan asesmen mengenai dampak pertambangan nikel bagi masyarakat sekitar agar tidak ada pihak yang rugikan.

Baca juga: PWYP: Transisi energi berkeadilan sudah jadi isu utama di Indonesia
 
Torry menilai transisi energi saat ini masih belum jelas letak keadilannya, sehingga prinsip keadilan perlu didefinisikan ulang.
 
Sementara itu Direktur Program Trend Asia mengatakan prinsip keadilan merupakan hal yang paling fundamental pada transisi energi. Karena itu pihaknya menggaungkan nilai, prinsip, dan langkah strategis dari transisi energi yang adil dan berkelanjutan di Indonesia.
 
Pertama, akuntabilitas, transparansi, dan partisipasif. Kedua, penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia. Ketiga, keadilan ekologis. Keempat, keadilan Ekonomi. Lalu, kelima transformatif yang bukan sekedar transisi teknologi tetapi harus mendorong transformasi pembangunan ekonomi .
 
Adapun empat langkah strategis yang dapat dilakukan adalah percepatan pensiun dini PLTU dan pengakhiran pertambangan batu bara, meninggalkan solusi-solusi palsu transisi energi, reformasi PLN dan kebijakan energi, serta perancangan dan implementasi transisi energi dengan penekanan pada pelibatan publik dan proses yang bottom-up.

Baca juga: FFA dan C20 Indonesia diskusikan transisi energi berkeadilan
 
Ashov menjelaskan Indonesia mempunyai target 23 persen untuk bauran energi terbarukan pada tahun 2025. Namun hingga saat ini pencapaiannya masih rendah, sekitar 11-12 persen, karena masih banyak kebijakan pemerintah yang kontradiktif.
 
Terdapat 13,8 GigaWatt  (GW) PLTU yang dipertahankan pemerintah untuk terus dibangun tanpa tenggat waktu yang pasti untuk penghentian pembangunan PLTU batu bara baru dan masih banyak insentif bagi industri batu bara.
 
“Aspek penting lainnya adalah bahwa konsep dan kerangka transisi energi yang berkeadilan belum didefinisikan dengan baik oleh pemerintah. Oleh karena itu, yang dikhawatirkan adalah terjadinya transisi energi tetapi tidak menyasar pada masalah utamanya, bahkan menghasilkan solusi-solusi palsu seperti co-firing batu bara atau gasifikasi batu bara,” kata Ashov.

Baca juga: Menkeu sebut RI rancang percepatan pensiun dini PLTU Batu Bara
Baca juga: Menkeu: ASEAN butuh investasi 27 miliar dolar energi terbarukan

 
 
 

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2023