Bogor, (ANTARA News) - Pakar lingkungan hidup Prof Emil Salim mengemukakan, hingga kini persoalan dan isu-isu lingkungan sulit masuk dalam "arus tengah" pembangunan, dan pihak kehutanan dan lingkungan baru dipersalahkan ketika suatu bencana alam melanda akibat kerusakan alam. "Namun saat membicarakan konsep kebijakan pembangunan, pakar lingkungan dan kehutanan (justru) dipinggirkan, karena pemikiran mengenai konservasi alam dianggap tidak memberikan kontribusi keuntungan materi," katanya di Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Darmaga, Senin (29/5). Berbicara saat memberikan kuliah umum pembukaan Program Studi Pascasarjana Konservasi Keanekaragaman Hayati Angkatan ke-2 Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB bekerjasama dengan LSM "Rare Pride" Amerika Serikat, yang dibuka oleh Rektor IPB, Prof Dr Ir Ahmad Ansori Mattjik dan Vice President "Rare Pride" Paul Butler, ia menyatakan dengan kondisi masih seperti itu, maka diperlukan ikhtiar untuk memperbaikinya. Dalam kaitan itu, kata Emil Salim, "Kita membutuhkan `social marketing` lingkungan untuk menyosialisasikan keuntungan dan manfaat kelestarian lingkungan alam dan hutan pada `decision maker` serta para politikus," katanya. Menurut mantan Menteri Lingkungan Hidup itu, yang menyampaikan kuliah umum di depan staf pengajar dan calon mahasiswa pascasarjana IPB itu mengakui bahwa bidang konservasi lingkungan dan hutan memang tidak mimiliki pasar layaknya komoditi hasil hutan seperti kayu, rotan, kertas dan sebagainya. "Konservasi lingkungan alam dan hutan tidak ada `suplay dan demand`-nya. Kebijakan pembangunan, konservasi lingkungan alam dan hutan memang tak bisa terukur materi secara instan seperti bidang pertambangan," katanya. Ia mengemukakan, meskipun demikian bila meremehkan konservasi lingkungan dan alam, maka akan sangat membahayakan masa depan sumberdaya alam (SDA) Indonesia sendiri. "Bencana banjir, erosi, tanah longsor, suhu memanas, kemarau, perubahan iklim, dan hancurnya ekosistem dan keanekaragaman hayati disebabkan oleh lingkungan alam dan hutan yang rusak," katanya. Agar konsep konservasi alam dan lingkungan bisa masuk dalam tataran "arus tengah" kebijakan pembangunan, kata dia, perlu penelaahan berbagai kepentingan dan keuntungan masing-masing komponen. Ia mencontohkan kasus perusahaan Krakatau Steel beberapa waktu lalu, dimana perusahan besi baja tersebut membutuhkan pasokan air bersih dan melimpah, namun sayangnya sejak pembukaan lahan pertanian di daerah hulu sungai Cidanau, pasokan air berkurang drastis. Sebagai alternatif, kata dia, awalnya Krakatau Steel ingin menyuling air laut menjadi air tawar. "Namun, biaya penyulingan air laut ternyata jauh lebih mahal dibanding membiayai penanaman pohon kembali oleh para petani di hulu Sungai Cidanau," katanya. Bagi petani sendiri menanam pohon hutan pangan jauh menguntungkan daripada membuka lahan pertanian di hulu sungai, dan dengan cara tersebut diperoleh tiga keuntungan sekaligus, Krakatau Steel bisa mendapatkan pasokan air yang bersih kembali, petani mendapatkan pendapatan lebih tinggi dan hutan terjaga kelestariannya, demikian Emil Salim. (*)

Copyright © ANTARA 2006