Denpasar (ANTARA) - Ketua Umum Badan Pengawas Daerah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bali Agus Pande Widura menanggapi soal sanksi denda 5 persen apabila terlambat membayar Tunjangan Hari Raya (THR) keagamaan bagi pekerja atau buruh.

"Pada dasarnya saya rasa itu oke, tapi harus ada prosesnya di mana sanksi lisan dulu, (kemudian) tertulis, baru jika pengusahanya bandel dikenakan sanksi 5 persen itu," kata dia di Denpasar, Selasa.

Agus menyadari dalam proses pemulihan pasca-pandemi COVID-19 sebagian besar pengusaha sudah dapat membayarkan THR, namun yang dikhawatirkan adalah informasi mengenai sanksi 5 persen yang belum tersampaikan ke para pengusaha.

Sebelumnya Kementerian Ketenagakerjaan seperti dalam unggahannya di Instagram menyampaikan adanya denda 5 persen dari total THR yang harus dibayar apabila terlambat diberikan kepada pekerja atau buruh.

Denda tersebut selanjutnya akan dikelola dan digunakan untuk kesejahteraan pekerja atau buruh, berlandaskan pada PP No 36 Tahun 2021 dan Permenaker No 6 Tahun 2016.

Ketua Hipmi Bali kemudian menilai bahwa sosialisasi yang jelas kepada pengusaha diperlukan, apalagi mengingat Hari Suci Idul Fitri 1444 Hijriah tak lama lagi.

"Saya masih belum yakin apakah semuanya sudah tersosialisasikan dengan baik bahwa ada sanksi 5 persen ini, karena kalau belum apa-apa langsung disanksi nah ini yang agak sulit, dan yang selalu terjadi di Indonesia kan hal-hal seperti ini," tuturnya.

Menurutnya penting adanya pemberitahuan baik lisan maupun tertulis, bahkan dirinya di Hipmi Bali pun belum menerima informasi resmi sehingga belum dapat mensosialisasikan ke anggotanya.

"Tapi mungkin mereka (anggota Hipmi Bali) sudah aware dari berita-berita saja, khawatirnya mereka tidak memahami daripada isi aturan tersebut," ujar Agus.

Di samping pembayaran THR, untuk menggaji pekerja, kata dia, para pengusaha muda itu sudah mampu jika dibandingkan dengan kondisi pandemi.

Namun, mereka mengalihkan dengan memangkas jumlah pekerja, karena apabila tidak maka akan sulit membayar gaji, sehingga proses pemulihan ini dapat dikaitkan apabila terjadi keterlambatan pembayaran THR keagamaan.

"Sekarang (misalnya) kita (pengusaha yang tidak nakal) telat bayar THR pasti ada alasannya, mereka mungkin ingin bayar, hanya saja terbentur secara finansial atau ada alokasi dana yang sifatnya penting, nah ini kalau dikenakan lagi sanksi 5 persen saya rasa bukan jalan keluar saat ini," tutup Agus.
Baca juga: Menaker harap pekerja status kemitraan dapat apresiasi meski bukan THR
Baca juga: Ombudsman dorong pemerintah daerah awasi pencairan THR
Baca juga: BI: Penukaran uang lewat mobil kas keliling di Aceh capai Rp4,9 miliar

Pewarta: Ni Putu Putri Muliantari
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2023