Jakarta (ANTARA) - Perhimpunan Dokter Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi Indonesia (PABOI) menyatakan Indonesia membutuhkan lebih banyak lagi ahli ortopedi guna meningkatkan pelayanan kesehatan dalam memantau tulang, otot dan sendi masyarakat.

“Sekarang jumlah ortoped di Indonesia ada 1.500-an, kira-kira begitu dan itu belum banyak. Jadi, saya katakan fenomena penyebab orang memilih (pengobatan) alternatif, karena rasio dokter yang kurang,” kata Ketua Dewan Pakar PABOI periode 2022-2025, Ferdiansyah dalam Talkshow “Tanggapan Pengobatan Ortopedi Non-Medis” yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.

Baca juga: Viral pengobatan Ida Dayak, Dokter Ortopedi: Prinsipnya "do no harm"

Ferdiansyah menuturkan kurangnya ahli atau dokter ortopedi disebabkan oleh dua hal. Pertama, dokter ortopedi menumpuk di DKI Jakarta. Padahal, rasio antara dokter dengan pasien di Indonesia belum bisa imbang dan monitoring terhadap keamanan terapi alternatif untuk kesehatan tulang menjadi belum kuat.

Kedua, karena penumpukan tersebut, akhirnya fasilitas layanan kesehatan di provinsi lain seperti di bagian Indonesia timur mengalami kekurangan dokter ortopedi. Hal inilah yang kemudian menyebabkan masyarakat lebih memilih pergi berobat ke terapi non-medis dibandingkan mendatangi rumah sakit.

Ia menyayangkan hal tersebut masih terjadi hingga kini, sehingga memunculkan fenomena, salah satunya pengobatan Ida Dayak yang sedang banyak diminati masyarakat. Padahal, pemerintah sudah memiliki program BPJS Kesehatan yang bagus untuk membantu pasien menangani permasalahan biaya pengobatan terkait tulang.

“Jadi, tugas kita adalah menambah jumlah ortoped, kemudian pemerintah juga harus bisa mendistribusikan dengan bagus, dokter-dokter di seluruh provinsi Indonesia,” katanya.

Hal ini perlu diperhatikan, karena dalam menangani pasien patah tulang terdapat dua jenis penanganan yang berbeda karakteristiknya. Pada patah tulang terbuka yang mempunyai risiko infeksi besar, pasien harus ditangani benar-benar secara medis dan tidak disarankan untuk melakukan terapi alternatif.

Sebaliknya, jika pasien mengalami patah tulang tertutup, misalnya mengalami bengkok atau tulang memutar, katanya, selama tulang menempel dan dalam kondisi normal, hal tersebut tidak masalah. Hanya saja, perlu diperhatikan apakah fungsi tulang kembali seperti sedia kala atau benar-benar sembuh melalui monitoring para ahli.

Baca juga: Pakar ortopedi sarankan orang berjinjit setelah berdiri 20 menit

Baca juga: PABOI berangkatkan dokter ortopedi ke lokasi gempa Cianjur


Dalam kesempatan itu, Ferdiansyah membeberkan ketertarikan terhadap terapi alternatif yang tinggi tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Berdasarkan sebuah jurnal di tahun 2022, penduduk di negara maju seperti di Amerika Serikat, sebanyak 42 persen lebih mempercayai terapi alternatif. Hal yang sama juga terjadi di Australia sebanyak 48 persen, Prancis 49 persen, dan China 50 persen.

"Chili agak tinggi (penduduk yang tertarik) ada 71 persen dan yang menarik Kanada itu 70 persen, itu negara maju. Jadi, memang bisa dikatakan mestinya nanti ini kedua-duanya, baik pengobatan modern maupun alternatif, masih bisa saling melengkapi. Tapi, ini ada syaratnya," ucap Ferdiansyah yang juga Ketua Kolegium Ortopedi dan Traumatologi periode 2019-2022 itu.

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023