Jakarta (ANTARA) - Rayyanah Barnawi adalah satu dari dua astronot Arab Saudi yang segera mengangkasa 8 Mei 2023 ketika negara yang diperintah Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud itu menjadi satu dari sedikit negara Muslim yang tak ingin ketinggalan mengeksplorasi ruang angkasa.

Barnawi dan Ali Alqarni menjadi dua dari empat astronot yang menumpangi kapsul Spacex Dragon yang dilontarkan ke ruang angkasa oleh roket SpaceX Falcon 9 dengan tujuan akhir, Stasiun Ruang Angkasa Internasional (ISS).

Mereka ditemani dua astronot Amerika Serikat, Peggy Whitson dan John Shoffner, untuk bergabung dengan astronot Uni Emirat Arab Sultan Al Neyadi yang sudah berada di ISS sejak 3 Maret tahun ini.

Kalau profesi Ali Alqarni adalah pilot pesawat tempur angkatan udara Saudi, maka Barnawi adalah peneliti kanker payudara.

Tak saja menjadi muslimah kedua di dunia yang akan berada di orbit Bumi dan perempuan Saudi pertama yang bakal mengangkasa di antariksa, Barnawi mewakili wajah baru Arab Saudi yang meninggalkan ultra-konservatisme dan kekolotan.

Kehadiran dia dalam misi ruang angkasa kian menegaskan usaha keras penguasa Saudi saat ini dalam menguatkan peran perempuan sampai setara pria yang muskil terjadi beberapa tahun silam.

Ruang angkasa sendiri tak asing untuk Saudi karena pada 1985, Raja Salman sewaktu muda dan masih sebagai pilot pesawat tempur, pernah menjadi bagian dari misi luar angkasa Amerika Serikat. Salman adalah warga Arab pertama yang mengangkasa di antariksa.

33 tahun setelah itu, ketika Salman sudah menjadi raja, Saudi membentuk komisi ruang angkasa yang pada 2023 mengirimkan astronotnya lagi ke antariksa. Misi kali ini menjadi bagian dari Visi Saudi 2030 yang dicanangkan Raja Salman dan putranya yang menjadi pewaris takhta, Pangeran Mohammed bin Salman.

Dalam misi antariksa yang diluncurkan dari Kennedy Space Center di Tanjung Canaveral, Florida, Amerika Serikat itu, Barnawi menjadi spesialis misi Axiom Mission 2. Ini adalah juga misi antariksa swasta kedua Axiom setelah April 2022 yang juga membawa empat astronot.

Barnawi yang berusia 33 tahun adalah pakar biomedis jebolan Selandia Baru dan Arab Saudi yang sembilan tahun terakhir ini aktif meneliti kanker payudara dan sel batang.

Dia adalah salah satu bukti Saudi tengah melangkah jauh ke depan dalam memajukan kaum hawa sejak Raja Salman melancarkan gebrakan-gebrakan reformatif di bawah prakarsa penguasa de facto, Pangeran Mohammed bin Salman.

Situasi Saudi ini berbalik 180 derajat dengan yang sedang terjadi di Afghanistan ketika Taliban malah meminggirkan lagi kaum perempuan.

Sebaliknya, perempuan Saudi kian luas berpartisipasi dalam segala aspek pembangunan nasional setelah undang-undang menjamin penuh hak mereka dan sekaligus melindungi peran aktif mereka, dalam bidang apa pun, terlebih Visi Saudi 2030 memberi tempat luas kepada perempuan untuk mengabdi kepada masyarakat dan negara.

Perkembangan mengesankan ini sampai mendorong Bank Dunia menaikkan indeks pemberdayaan perempuan Arab Saudi menjadi 80 poin pada 2022, dari 25,63 poin pada 2019.

Prakarsa memberdayakan perempuan juga masuk anggaran rutin negara sehingga perempuan bisa terus berperan, namun tetap sejalan dengan nilai-nilai Kerajaan Saudi.


Kembali ke Islam moderat

Salah satu dampak positif dari semua itu adalah naiknya tingkat partisipasi ekonomi perempuan Saudi dalam pasar tenaga kerja yang hingga triwulan kedua 2022 mencapai 35,6 persen atau di atas angka lima tahun pada 17 persen.

Emansipasi juga semakin luas, yang di antaranya membolehkan perempuan mengemudikan kendaraan dan bepergian ke luar negeri tanpa didampingi wali pria, serta tak mewajibkan mereka mengenakan abaya, yang di Indonesia disebut gamis Arab.

Perempuan Saudi menyambut antusiatis pembukaan kesempatan yang luas ini. Mereka berlomba berkiprah untuk negara, di segala bidang, termasuk sains seperti digeluti Rayyanah Barnawi.

Dalam kaitan itu, menurut laporan Arab News, pada 2021, 58 persen mahasiswa Saudi adalah perempuan dan kebanyakan mempelajari sains dan teknologi.

Dengan memberikan peran lebih luas kepada perempuan, Saudi pun perlahan meninggalkan pemikiran ultra konservatif yang menganggap perempuan tak lebih dari pendamping pria.

Penguasa Saudi saat ini menyadari agar negara maju, maka mereka harus meninggalkan konservatisme yang mengharu biru sejak 1979 ketika Masjidil Haram diserbu 400 ekstremis yang murka kepada apa yang mereka anggap dekadensi moral masyarakat Saudi akibat pengaruh budaya Barat.

Ekstremis-ekstremis itu memang bisa ditumpas aparat keamanan dua pekan kemudian, tetapi pemikiran mereka merasuki elemen-elemen penting negara, termasuk pemimpin agama yang lalu di antaranya mengeluarkan larangan meniru budaya Barat dan mewajibkan perempuan Saudi mengenakan abaya hitam.

Namun setelah beberapa lama, pandangan yang ultra konservatif itu dianggap penguasa Saudi sekarang sebagai faktor yang membuat negara gagal merespons perkembangan dan tuntutan zaman. Mereka kini berusaha mengoreksi keadaan itu di bawah dirigen Pangeran Mohammed bin Salman.

Putra mahkota Kerajaan Saudi itu dengan lantang menyatakan bahwa tiga dekade dalam pelukan konservatisme membuat Saudi tak bisa memetakan jalan kemudian sehingga tak bisa membayangkan skenario Saudi tanpa minyak dan gas.

Dia ingin Saudi memikirkan alternatif selain minyak, tetapi menyadari betul bahwa untuk sampai ke sana, Saudi membutuhkan pemikiran-pemikiran kreatif nan inovatif yang harus dimulai dari sikap mental yang berubah.

Perubahan sikap mental itu harus diawali dari menyisihkan pemikiran-pemikiran ultra konservatif dan ekstrem yang selama ini dirasa mengungkung kreativitas dan inovasi.

Konservatisme juga acap melahirkan eksklusivitas yang membuat masyarakat tak mau merangkul kelompok lain. Mohammed bin Salman tak mau keadaan itu terus terjadi di Saudi.

"Kami hanya ingin kembali kepada apa yang sudah kami ikuti, yakni Islam moderat yang terbuka untuk dunia dan semua agama," kata Mohammed bin Salman dalam wawancara dengan The Guardian pada 24 Oktober 2017.

Jika melihat gerak gerik Saudi tahun-tahun belakangan ini, termasuk menormalisasi hubungan diplomatik dengan Iran yang justru musuh bebuyutan Saudi, para pemimpin Saudi memang terlihat agresif dan sangat serius menampilkan wajah moderat yang merangkul siapa pun.

Kini, mengingat statusnya sebagai pemimpin dunia Islam di mana yang tengah berlaku di Saudi acap bergaung ke dunia Islam, langkah Saudi mungkin menular ke negara-negara Islam konservatif lainnya untuk merangkul inklusifitas sehingga pemikiran eksklusif dan ekstrem tak lagi mendapatkan ruang yang lapang.

Copyright © ANTARA 2023