Bondowoso (ANTARA) - Menulis cerita pendek atau cerpen adalah keterampilan yang membutuhkan latihan berulang, sehingga pada puncaknya muncul keterampilan pada diri pelakunya.

Untuk selalu istikamah dalam posisi latihan berulang menulis cerpen itu, maka satu hal yang perlu diperhatikan adalah kekuatan niat dari pelakunya, sehingga tidak mudah terjebak pada keadaan putus asa.

Penggerak literasi yang juga penulis cerita pendek dan novel Naning Pranoto, ketika mengisi kegiatan "Ngaji Cerpen bersama Santri", Minggu (9/4) yang juga diikuti oleh Antara, bercerita bagaimana seseorang yang ingin belajar menulis cerpen harus betul-betul menjaga, bahkan menguatkan niat itu. Niat menjadi semacam energi yang menggerakkan seseorang untuk terus berlatih tanpa mengenal lelah.

Pentingnya niat itu berangkat dari hakikat menulis dalam berbagai genre yang memerlukan kekuatan jiwa karena hampir tidak ada orang yang sekali menulis langsung bagus, apalagi langsung terampil.

Beberapa penulis menggambarkan bahwa keterampilan menulis itu seperti seseorang yang ingin belajar mengendarai sepeda kayuh. Keterampilan bersepeda itu tidak mungkin tercapai jika seseorang hanya belajar secara teori, melainkan langsung praktik dengan memegang setir sepeda lalu menggerakkan kaki yang ditumpukan pada pedal agar sepeda berjalan dalam keadaan tetap berdiri atau tidak jatuh.

Setiap momen hampir pasti ada tantangannya. Terkadang, dalam praktik bersepeda itu si pembelajar sepeda terjatuh dan terluka di bagian tubuhnya. Di kondisi batin, seseorang bisa merasa putus asa karena terjebak pada hasrat langsung terampil, sehingga membutuhkan motivasi dari orang lain untuk kembali menjalani praktik.

Luka dalam praktik belajar menulis cerpen tentu tidak bersifat fisik seperti belajar bersepeda, tapi bisa dimaknai cacian dari orang lain atas tulisan kita atau kalau tulisan itu mulai dikirim ke media massa, ada penolakan dari redaktur. Di kondisi inilah seorang pembelajar dapat memanfaatkan momentum terus menguatkan niat itu.

Bahkan, penjagaan niat itu tetap berlaku ketika seseorang sudah memiliki keterampilan menulis. Hal itu karena sejatinya menulis tidak mengenal waktu. Menulis adalah proses seumur hidup yang keberlangsungannya harus selalu dijaga oleh tetap berpegang pada teguhnya niat.

Lalu apa yang bisa ditulis oleh seorang pembelajar? Menulis itu bisa dimulai dari kehidupan kita sendiri. Hidup yang kita jalani adalah cerita. Hidup adalah sejarah tentang tubuh dan jiwa kita.

Selain niat, konflik dalam kehidupan yang kita hadapi atau yang dihadapi orang lain adalah bumbu wajib yang harus dihadirkan dalam tulisan agar sebuah cerita pendek menarik bagi pembacanya.

Konflik atau pertentangan itu bisa antara orang dengan orang, pertentangan antara person dengan masyarakat, orang dengan lingkungan atau konflik diri dengan batinnya. Di sinilah konflik itu merupakan modal untuk menulis cerpen.

Modal lain dari seorang penulis dan calon penulis adalah imajinasi. Bagi Naning Pranoto yang sudah menghasilakn 100 lebih judul buku, imajinasi itu berbeda dengan hayalan. Bedanya, hayalan itu melayang kemana-mana, sedangkan imajinasi terarah ke satu titik tertentu yang hendak kita jadikan teman untuk menulis.

Salah seorang penulis, Dr Lies Wijayanti yang juga ahli fisiologi pembungaan, setuju dengan pentingnya merawat niat dalam belajar menulis cerpen.

Setelah memiliki modal niat, seorang pembelajar harus terus konsisten dan tidak pernah lelah untuk menghasilkan karya. Dalam konteks agama, menulis menjadi sarana menjalankan perintah agar setiap individu menyampaikan sesuatu walaupun hanya satu ayat.

Dengan menulis, nama kita akan dikenang dan tercatat dalam sejarah. Sebaliknya, kalau tidak menulis, nama kita akan dihapus dalam catatan sejarah. Karya tulis akan menjadi warisan kita untuk membantu generasi mendatang membangun peradaban yang lebih baik.

Salah satu kendala yang biasanya dihadapi oleh seorang pembelajar adalah "penghakiman diri". Ketika kita menulis beberapa kata atau kalimat, tiba-tiba muncul penghakiman bahwa tulisan itu kurang baik.

Dalam praktik menulis, khususnya fiksi, tidak ada kata "salah" atau "tidak baik". Karena itulah, sejatinya pengarang adalah manusia merdeka untuk mengekspresikan banyak hal dalam kehidupan. Penghakiman "salah benar" itu hanya pantas disematkan pada isi tulisan yang menjelekkan atau menyerang nama baik seseorang, sekelompok orang atau lembaga, serta organisasi.

Ahmad Aqil Al Adha, siswa SMA dan santri di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, yang sudah menghasilkan beberapa karya cerpen, mengaku banyak hal yang didapat dari paparan Naning Pranoto dan semua ulasannya mudah dipraktikkan untuk membantu seseorang dalam proses belajar.

Aqil juga yakin bahwa kekuatan niat menjadi hal yang luar biasa, karena dengan seperti itu akan mampu mengalahkan semua bentuk rintangan.

Sementara Hovivah, siswa kelas 3 SMKN 1 Sumberwringin, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, yang juga calon mahasiswa yang baru pertama kali mengenal teori praktis dan motivasi menulis mengaku tergugah untuk menekuni dunia menulis.

Pesan yang harus dipegang oleh kaum muda untuk dunia literasi ini adalah terus dan tidak boleh lelah serta mudah dalam belajar menulis. Apapun profesi yang ditekuni nanti, keterampilan menulis akan sangat berguna dan sangat membantu. Naning berpesan, menulis itu bukan dari bakat, tapi dari niat.
 

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023