....Harapan kami, mereka mendapatkan pendidikan sesuai kepercayaan yang dianut."
Semarang (ANTARA News) - Kelompok penghayat kepercayaan mengharapkan perlakuan adil pemerintah dalam bidang pendidikan bagi anak-anak mereka, terutama dalam akses pendidikan agama yang selama ini dibatasi.

"Selama ini, anak-anak kami di rumah mendapatkan pendidikan sesuai ajaran kepercayaan yang kami anut. Namun, kondisi di sekolah berbeda," kata Ketua Umum Paguyuban Budaya Bangsa Adji Tjaroko di Semarang, Selasa.

Hal itu diungkapkannya di sela Sosialisasi Peraturan Perundangan Tentang Kepercayaan, Adat, dan Tradisi di Hotel Novotel Semarang yang diprakarsai Ditjen Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME Kemendikbud.

Menurut dia, selama ini anak-anak penghayat kepercayaan harus menyesuaikan kurikulum pendidikan agama di sekolah dengan memilih di antara enam agama, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.

"Kalau seperti ini, kasihan mereka (anak-anak, red.). Mereka tidak diperlakukan adil dalam akses pendidikan agama. Harapan kami, mereka mendapatkan pendidikan sesuai kepercayaan yang dianut," katanya.

Ia optimistis bahwa sistem kurikulum yang memuat pendidikan kepercayaan itu bisa berjalan jika pemerintah serius, meski tidak dipungkiri jumlah kelompok kepercayaan di Indonesia sekarang ini memang mencapai ratusan.

"Sekarang begini, mau merdeka dulu atau mencetak sarjana untuk membangun bangsa? Kalau menurut saya tentu merdeka dulu, baru membangun, membenahi, dan sebagainya. Bukan membangun dulu baru merdeka," katanya.

Demikian halnya dengan akses pendidikan agama bagi penghayat kepercayaan, ungkap dia, pemerintah harus membangun sistemnya terlebih dulu, baru dilakukan perbaikan-perbaikan sembari prosesnya berjalan.

"Meski demikian, secara umum kami mengakui bahwa kondisi yang dialami penghayat kepercayaan sekarang ini sudah relatif baik dibanding dulu. Hanya pelaksanaannya di tingkat bawah yang masih belum optimal," kata Adji.

Sementara itu, pemerhati kepercayaan Dr. Abdul Latif Bustami membenarkan bahwa anak-anak penghayat kepercayaan selama ini memang belum diperlakukan secara adil oleh pemerintah dalam sektor pendidikan.

Pada UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kata pengajar antropologi Pascasarjana Universitas Indonesia itu, menyebutkan setiap peserta didik harus mendapatkan pelajaran agama sesuai agama yang dianutnya.

"Namun, pelajaran yang dimaksud hanya enam agama. Bagaimana dengan penghayat kepercayaan? Akhirnya, anak-anak penghayat kepercayaan terpaksa memilih di antara enam pelajaran agama untuk diikuti di sekolah," katanya.

Ada pula, kata Bustami, anak-anak penghayat kepercayaan yang memilih tidak mengikuti pelajaran agama di sekolah, tetapi sekolah tetap memberikan nilai sesuai kebijakan karena pelajaran agama memang diwajibkan.  (ANT)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2012