Palu, (ANTARA News) - Sedikitnya 8.000 hektar dari 27 ribu hektar luasan tanaman kakao di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), terserang hama Penggerek Buah Kakao/PBK (Comophorpa Cramelella Snell), sehingga telah menurunkan produksi biji kakao kering daerah itu hingga mencapai 46 persen. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Poso, Ir Nahardi, yang dihubungi di Poso, Selasa (30/5) mengatakan serangan hama PBK itu sudah berlangsung beberapa tahun terakhir dan menjangkau hampir semua sentra produksi setempat. "Namun intensitas serangan terberat berada pada sejumlah sentra produksi yang ada di kecamatan Poso Pesisir, Pamona Utara, dan Pamona Selatan," katanya. Menurut dia, cepat meluasnya serangan hama PBK di daerahnya lebih dikarenakan pengaruh situasi kamtibmas pasca kerusuhan pertengahan tahun 2000, sebab banyak petani selama bertahun-tahun menelantarkan kebunnya untuk mengungsi serta menghindari pergi terlalu jauh dari rumah mereka dikarenakan adanya kekhawatiran akan keselamatan jiwanya. Kondisi demikian ini mengakibatkan kebun-kebun kakao di daerah bekas konflik bernuansa SARA itu menjadi tidak terurus, sehingga mudah terserang berbagai hama tanaman. "Anda bayangkan saja, sebelum kerusuhan Poso produksi tanaman kakao di daerah kami dengan luas tanaman belum seberapa bisa menghasilkan biji kakao kering sampai 24 ribu ton per tahun, namun akibat meluasnya serangan hama PBK kurun beberapa tahun terakhir itu produksi dari 27 ribu hektar kebun kakao rakyat saat ini tinggal berkisar 16.000-18.000 ton per tahun," katanya. Nahardi juga mengatakan, setelah situasi kamtibmas di wilayah Poso mulai kondusif kurun tiga tahun terakhir dan sebagian besar petani mulai kembali beraktivitas seperti sediakala, instansinya kembali memprogramkan kegiatan rehabilitasi tanaman kakao sekaligus penanggulangan hama PBK. "Untuk meminimalisir serangan hama ini, pihaknya kami selain aktif melakukan penyuluhan, juga telah memberikan bantuan kepada kelompok tani berupa pupuk tanaman, perbaikan sanitasi, serta melakukan `sarungnisasi` buah kakao dalam jumlah terbatas sesuai kemampuan dana yang tersedia," tuturnya. Dishutbun setempat juga menyatakan pada tahun ini telah mengusulkan anggaran sebesar Rp1,9 miliar dalam RAPBD Poso untuk program peningkatan produksi tanaman kakao rakyat dan penanggulangan hama PBK, anggaran mana sementara dalam pembahasan pihak legisltif dan eksekutif setempat. "Kami targetkan dengan anggaran sebesar itu dapat merehabilitasi dan memulihkan 500 hektar kebun kakao rakyat yang dikelola oleh 138 kelompok tani," kata dia, sambil mengatakan pihaknya masih membutuhkan penambahan puluhan tenaga penyuluh lapang petanian (PPL) untuk menyukseskan program-program khususnya pada sub-sektor pekebunan. Hama PBK disebarluaskan oleh kupu-kupu kecil berwana putih. Ribuan telur dari kupu-kupu ini lalu menetas menjadi ulat kecil (calon kepompong), kemudian masuk ke dalam buah kakao dan menetap di dalamnya. Buah kakao yang dimasuki ulat tersebut bijinya menjadi rusak dan menggumpal kehitaman, sehingga dapat menurunkan produktivitas biji kakao dalam satu buah hingga 80 persen. Hama PBK yang berasal dari Pulau Sebatik di Laut Sulawesi yang belakangan diambil alih oleh pemerintah Malaysia itu mulai ditemukan menyerangan perkebunan kakao di desa Lakatan, Kecamatan Lalos, Kabupaten Tolitoli, Sulteng, pada tahun 1993. Pemprov Sulteng bekerjasama dengan Departemen Pertanian pada 1994 lalu pernah memanfaatkan sejumlah tenaga ahli dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember untuk mensosialisasikan "Sistem Eradikasi" kepada petani kakao di Tolitoli, namun cara pemangkasan cabang, ranting, disertai pengguguran semua buah tanaman kakao hingga radius 500 meter persegi dari lokasi serangan dan dilaksanakan secara serentak untuk memutus mata rantai perkembangan hama tersebut tidak membuahkan hasil. Bahkan banyak petani di Tolitoli ketika itu mengeluh karena selama berbulan-bulan mereka tidak lagi memiliki mata pencaharian. Tapi, belakangan Pemprov Sulteng kembali mengembangan Sistem Sanitasi dan Sarungnisasi untuk menekan laju perkembangan hama ini, namun belum juga membuahkan hasil maksimal bahkan hampir semua sentara produksi kakao pada sembilan kabupaten di daerah ini telah terserang hama PBK. Provinsi Sulteng saat ini memiliki sekitar 120 ribu hektar tanaman kakao dengan produksi tahun 2005 mencapai lebih 140 ribu ton dalam bentuk biji kakao kering. Sekitar 90 persen dari total produksi itu diekspor ke Malaysia, Amerika Serikat, dan Singapura. Sementara kontribusi tanaman kakao untuk petani setempat tiap tahunnya lebih Rp1,2 triliun.(*)

Copyright © ANTARA 2006