Jakarta (ANTARA News) - Terdakwa kasus korupsi pengadaan dan pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) tahun anggaran 2008, Neneng Sri Wahyuni, disebut sebagai orang yang berkuasa dalam pembayaran-pembayaran di PT Anugerah Nusantara.

"Cek memang dikuasai oleh ibu Neneng, sedangkan dalam pembayaran kalau jumlah besar ke Pak Nazaruddin, kalau kecil ke Bu Neneng," kata mantan staf keuangan PT Anugerah Nusantara Oktarina Fury ketika bersaksi dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Nazaruddin adalah suami Neneng yang merupakan pemilik Anugerah Grup alias Permai Grup yang membawahi sejumlah perusahaan, antara lain PT Anugerah Nusantara.

Terkait dengan pelaksanaan proyek PLTS oleh PT Anugerah Nusantara yang meminjam bendera perusahaan PT Alfindo Nuratama Perkasa, Oktarina mengakui bahwa Neneng berwenang untuk melakukan pembayaran-pembayaran.

Saksi lain dalam sidang, mantan direktur keuangan PT Anugerah Nusantara, Yulianis, mengungkapkan bahwa Neneng memang masuk ke kantor setiap hari pada 2008.

"Ibu Neneng masuk kantor setiap hari pada 2008 tapi pada 2009 tidak penuh dan hanya 2-3 jam di kantor, kalau Bu Neneng tidak di kantor kami bicara menggunakan telepon khusus," ungkap Yulianis.

Yulianis mengaku dalam proyek PLTS bertugas untuk membuat laporan rugi laba.

"Laporan (PLTS) itu diberikan kepada ibu Neneng dan Pak Nazaruddin, labanya sekitar Rp2,2 miliar," ungkap Yulianis.

Yulianis juga mengaku bahwa Neneng hingga 2010 tetap mengambil gajinya dan ada nama Neneng dalam daftar gaji.

"Pada 2010 gaji Ibu Neneng seingat saya Rp13 juta, saya sekitar Rp7 juta sedangkan Rosa adalah Rp9-10 juta," jelas Yulianis.

Rosa tidak lain adalah mantan direktur operasional marketing Permai Grup Mindo Rosalina Manulang yang sebelumnya juga hadir sebagai saksi, dan mengatakan bahwa Neneng adalah Direktur Keuangan dalam PT Anugerah Nusantara.

Menanggapi kesaksian mantan karyawannya, Neneng membantah kesaksian tersebut.

"Saya tidak pernah memegang cek, tidak pernah memberikan persetujuan permohonan keuangan, tidak pernah menjadi direktur keuangan PT Anugerah Nusantara dan juga tidak berwenang untuk membuat keputusan di perusahaan milik suami saya," kata Neneng.

Neneng dalam perkara tersebut didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP mengenai perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda Rp1 miliar.

Neneng bersama sejumlah pihak lain dianggap merugikan keuangan negara sebesar Rp5,27 miliar.

Ia dan suaminya terpidana kasus Wisma Atlet Nazaruddin atau PT Anugrah Nusantara dianggap menikmati uang sebesar Rp2,2 miliar dari hasil selisih pembayaran Depnakertrans kepada pemenang tender PLTS yaitu PT Alfindo.

Sedangkan Direktur PT Alfindo Nuratama Perkasa (ANP) Arifin Ahmad mendapat uang sebesar Rp40 juta sebagai realisasi pengayaran "fee" atas peminjaman dokumen perusahaan PT ANP.

Pihak-pihak lain yang menerima aliran dana proyek tersebut adalah Pejabat Pembuat Komitmen Depnaktertrans Timas Ginting sebesar Rp77 juta dan 2 ribu dolar AS, Direktur Pengembangan Sarana dan Prasarana Kawasan (PSPK) Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi (P2MKT) Depnakertrans Hardy Benry Simbolon sebesar Rp5 juta dan 10 ribu dolar AS.

Masih ada Ketua panitia pengadaan PLTS Sigit Mustofa Nurudin sebesar Rp10 juta dan seribu dolar AS, anggota panitia pengadaan PLTS Agus Suwahyono sebanyak Rp2,5 juta dan 3.500 dolar AS, anggota panitia pengadaan Sunarko sebesar Rp2,5 juta dan 3.500 dolar AS dan terakhir Direktur PT Nuratindo Bangun Perkasa sebesar Rp2,5 juta.

(D017)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2012