Jakarta (ANTARA) - Mari kita amati beberapa tahun terakhir ini, ada fenomena menarik di kalangan masyarakat muslim Indonesia secara umum saat merayakan momen Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri.

Lebaran digital, demikian saya menyebut fenomena ini, sebagai cara baru bagi tidak sedikit kalangan masyarakat kita dalam menyelami indahnya berhari raya. Lebaran dengan ragam pernak-pernik tradisi khasnya, dari open house halal bihalal hingga urusan mudik, saat ini telah coba dinikmati secara virtual, selain tentu saja secara fisik.

Hadirnya internet pada masyarakat modern secara faktual telah memberikan banyak warna baru dalam berbagai hal tak terkecuali pada saat momen berhari raya. Saat internet belum hadir dan masif mengemuka, tradisi masyarakat kita dalam praksis berkomunikasi dan berdiseminasi informasi saat Lebaran umumnya masih dilakukan secara konvensional.

Namun, tatkala internet telah menjadi gurita dalam kehidupan seperti saat ini, banyak orang yang kemudian beralih cara dalam berlebaran melalui format digital, baik secara keseluruhan maupun hanya sebagian saja.

Ini bukan hanya satu atau dua aktivitas saja, namun berlaku di banyak aktivitas terkait momen Lebaran. Melalui berbagai piranti teknologi komunikasi digital modern, masyarakat tidak canggung dalam mendekap keistimewaan Lebaran dalam praksis berkomunikasi maupun berdiseminasi informasi secara super highway.

Sebagai contoh, jika dulu banyak masyarakat yang menjalankan tradisi berhalal bihalal melalui saling berkunjung langsung secara fisik dari rumah ke rumah. Namun saat ini, sebagian pihak melakukannya secara daring (dalam jaringan) terutama melalui piranti ponsel pintar (smartphone) tanpa harus saling berkunjung secara fisik.

Atau tetap saling mengunjungi secara fisik namun diawali dengan ucapan saling memaafkan via online. Jika dulu menjadi sangat umum orang mengantre untuk mendapatkan tiket armada umum (bus, kereta api, kapal, pesawat, travel) secara langsung di agen-agen resminya, maka saat ini cukup mengulik handphone berkoneksi internet sambil selonjor santai di kursi rumah dalam memproses tiket mudik ke kampung halaman secara online.

Kalau dulu menjadi hal biasa orang sibuk mengantre di bank untuk menarik uang buat bekal mudik, maka saat ini cukup memencet tombol-tombol HP melalui fasilitas menu e-banking atau via ATM (automatic teller machine).

Jika tempo dulu banyak orang berbelanja kebutuhan berlebaran dengan harus berjejalan memenuhi pasar atau supermarket, maka saat ini banyak orang yang merasa cukup order melalui layanan berbagai toko online. Dengan hanya memproses transaksinya lewat smartphone, maka barang yang dipesan akan langsung dikirim sampai di depan pintu rumah kita.

Pun terkait pesan kontemplatif soal hikmah berlebaran. Jika pada masa sebelumnya masyarakat jamak mengetahuinya melalui berbagai pengajian langsung atau lewat media massa cetak dan elektronik, maka saat ini banyak yang mengetahuinya melalui internet lewat ragam akses platform teknologinya.

Potret digital

Jadi, dapatlah sampai batas tertentu dikatakan bahwa Lebaran digital bukan hanya menjadi cara baru terkini bagi banyak masyarakat muslim Indonesia--bahkan juga secara global--dalam merayakan Idul Fitri, namun telah menjadi mode baru tersendiri.

Menjadi semacam kultur baru bagi masyarakat muslim modern dalam mengekspresikan asa, hasrat dan kebutuhan diri secara personal maupun massal pada momen hari raya secara kreatif, dinamis, dan sofistikatif.

Fenomena ini tidak lepas dari eksistensi, peran, dan pengaruh internet itu sendiri sebagai piranti mediator yang merealisasikan masyarakat dengan ruang-ruang virtual secara intensif, akseleratif, dan masif. Dan di Indonesia, jumlah pengguna internet tergolong besar dan diprediksi terus bertumbuh setiap tahunnya.

Hasil survei terbaru dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bersama SRA Consulting menyebut jumlah pengguna internet di Indonesia tahun 2023 mencapai 215.626.156 pengguna (78,19 persen) dari total populasi sebesar 275.773.901 jiwa.

Terjadi peningkatan jumlah sebesar 1,17 persen dibandingkan dengan data serupa tahun 2022 yang berjumlah 210.026.769 pengguna. Tingkat penetrasi internet tahun 2023 terhadap laki-laki sebesar 79,32 persen dan terhadap perempuan sebesar 77,36 persen.

Di tingkat global, data dari Statista, sebuah lembaga penyedia data pasar dan konsumen global terkemuka, per Januari 2023 menyebut Indonesia bertengger di ranking ke-4 pengguna internet terbanyak di dunia yakni sebesar 212,9 juta pengguna, setelah Tiongkok (1,050 miliar pengguna), India (692 juta pengguna) dan Amerika Serikat (311,3 juta pengguna).

Sementara jumlah pengguna media sosial di Indonesia menurut laporan We Are Social per Januari 2023 mencapai 167,0 juta pengguna (60,4 persen) dengan jumlah pengguna laki-laki sebesar 53,2 persen dan pengguna perempuan sebesar 46,8 persen.

Agaknya pula, smartphone menjadi platform teknologi komunikasi modern berkoneksi internet paling primadona bagi masyarakat Indonesia yang ikut menyumbang pengaruh signifikan bagi fenomena Lebaran digital ini.

Bisa dikatakan, banyak dari masyarakat Indonesia yang seakan ‘tidak bisa hidup’ tanpa memegang smartphone. Ada gejala nomophobia (no mobile phone phobia). Seolah, mereka ini merasa lebih takut ketinggalan gadget daripada ketinggalan dompet di rumah.

Smartphone telah menciptakan ketergantungan begitu mendalam dalam relung kehidupan keseharian sehingga menjadikan diri merasa tidak nyaman jika harus jauh dari HP.

Laporan dari Newzoo, perusahaan data dan riset digital global berbasis di Belanda, menyebut jumlah pengguna smartphone di Indonesia tahun 2022 mencapai 192,15 juta pengguna.

Jumlah itu menjadikan Indonesia menempati urutan ke-4 daftar jumlah pengguna smartphone terbesar di dunia setelah Tiongkok (910,14 juta pengguna), India (647,53 juta pengguna) dan Amerika Serikat (249,29 juta pengguna).

Di bawah Indonesia, tercatat Brasil (138,85 juta pengguna), Rusia (105,9 juta pengguna), Jepang (97,23 juta pengguna) dan Meksiko (80,63 juta pengguna). Sementara data riset dari GSMA Intelligence menunjukkan terdapat 353,8 juta koneksi seluler (128,0%) di Indonesia pada awal tahun 2023.

Seiring waktu, jumlah pengguna ponsel pintar di Indonesia diprediksi terus akan meningkat setiap tahun. Laporan riset Statista bahkan memproyeksi jumlah pengguna smartphone di Indonesia bakal mencapai 268,82 juta pengguna pada tahun 2028.

Plus-minus

Fenomena merebaknya Lebaran ala digital ini tentunya tidak lepas dari ekses plus dan minus-nya. Secara positif, penggunaan beragam teknologi komunikasi digital yang pasti secara faktual banyak mempermudah masyarakat dalam berbagai aktivitas termasuk saat momen Lebaran.

Orang bisa langsung mengucapkan, “Taqabbalallahu minna wa minkum taqabbal yaa kariim, wa ja’alanallahu wa iyyakum minal ‘aidin wal faizin wal maqbulin kullu ‘aamin wa antum bi khair”, melalui share di WhatsApp (WA), video call atau platform media sosial.

Tanpa harus bertemu muka secara langsung terutama karena faktor jarak atau sebab kondisi lain, teknologi komunikasi digital dapat membantu kita untuk bisa saling bermaaf-maafan secara langsung via daring.

Demikian halnya dengan urusan tiket mudik, transaksi dana berlebaran, belanja berhari raya dan berbagai pernak-pernik aktivitas di momen Lebaran lain telah banyak dimudahkan, diefisiensikan dan diakselerasikan mekanisme prosesnya melalui penggunaan teknologi komunikasi digital, bahkan cukup melalui smartphone.

Kehadiran teknologi komunikasi digital memang telah melampaui sekaligus mengatasi ruang dan waktu guna mempermudah manusia dalam beragam aktivitasnya. Menggunakan istilah Nicholas Negroponte (1996), seorang neo-futuris dari Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat, bahwa “menjadi digital” adalah sesuatu yang utama dari kehidupan (saat ini).

Manusia tidak melepaskan diri dari pengaruh teknologi. Teknologi adalah fenomena yang membuat manusia harus mengikutinya dan antisipasi sudah selayaknya dilakukan.

“Manusia harus terus-menerus memperbaiki dan berpikir ulang mengenai tujuan sosialnya,” demikian saran dari futurolog Alvin Toffler (1970) sebagaimana dicatat oleh Anthony G. Wilhelm dalam Democracy in the Digital Age: Challenges to Political Life in Cyber Space (2000).

Meski memiliki banyak kemanfaatan, namun Lebaran versi digital ini juga dipandang mengandung sisi-sisi kekurangan dan bisa bersifat tidak terlihat alias laten. Sebagai salah satu contoh, fenomena saling bermaaf-maafan saat Lebaran yang jika hanya mengandalkan fasilitasi via online sampai batas tertentu bisa mengurangi nuansa “kedekatan dan keakraban”.

Bagi banyak pihak, bertemu fisik langsung secara kejiwaan sampai batas tertentu bisa memunculkan rasa keintiman relasi yang lebih optimal sekaligus memberikan kesan lebih mendalam daripada sekadar bertemu via digital.

Ada rasa yang “berbeda” secara psikologis saat bersilaturahmi dengan bertemu secara langsung dengan yang hanya via online, tanpa mengurangi esensi dari Lebaran itu sendiri. Hannah Arent (1963), seorang filsuf Jerman, menyebutnya sebagai “pelemahan hubungan” karena manusia berkomunikasi tidak lagi bertemu secara langsung, namun telah dilokalisasi oleh teknologi.

Pun, dengan sebagian aktivitas lain khas momen Lebaran yang menggunakan piranti teknologi komunikasi digital, jika secara pribadi tidak berhati-hati bisa rentan menimbulkan problem bagi si penggunanya maupun pihak lain. Misal saja, saat bertransaksi secara online, jika tidak berhati-hati dalam menjaga identitas pribadi seperti nomor pin rekening bank, maka rentan diretas pihak-pihak lain yang tidak bertanggung jawab.

Aksi-aksi penipuan via transaksi digital juga rentan muncul di sela-sela kemeriahan momen Lebaran dengan aneka topeng untuk menjerat para korbannya, mulai dari iming-iming undian berhadiah, bisnis investasi hingga ajakan peduli kemanusiaan melalui kedok penggalangan donasi sosial.

Hal ini belum termasuk info-info spesifik tertentu yang sejatinya bernuansa hoax, hate speech, bullying atau praktik pishing, scamming, carding, cracking bahkan hingga sejenis over narcissism yang bisa saja muncul mewarnai ruang maya masyarakat kita, bahkan di tengah-tengah kekudusan momen Idul Fitri.

Dengan demikian, seyogyanya kita harus senantiasa waspada dan antisipasi melalui penguatan literasi digital agar jangan sampai menjadi korban atau bahkan pelaku dari praktik-praktik penyimpangan digital terkait.

Pada akhirnya kita mungkin bersepakat dengan adagium, teknologi selalu bermata dua. Teknologi tidaklah netral, demikian deklarasi kaum tekno-realis dalam memandang keberadaan teknologi.

Ada banyak manfaat positif dari eksistensi teknologi bagi peradaban manusia, tak terkecuali teknologi komunikasi digital. Di sisi lain, ada juga sisi-sisi bernuansa negatif yang menyelubungi ekses dari eksistensi teknologi.

Memang, teknologi komunikasi digital “bisa mendekatkan yang jauh sekaligus juga bisa menjauhkan yang dekat”. Meski demikian, di era modern yang serba sangat kompetitif saat ini, kita sungguh tidak bisa menghindarkan diri dari globalisasi teknologi komunikasi digital.

Yang dapat kita lakukan adalah berusaha bijaksana dalam meresponsnya sesuai dengan situasi dan kebutuhan diri agar senantiasa tercapai kehidupan berkemajuan yang lebih baik. Selamat Idul Fitri 1444 Hijriah. Minal 'Aidin wal-Faizin. Mohon maaf lahir dan batin.

(Penulis adalah Guru Besar Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang juga Ketua Dewan Pengawas Perum LKBN ANTARA).

Copyright © ANTARA 2023