Masih banyak bank yang kegiatan operasionalnya tidak sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, bahkan beroperasi di bawah skala ekonomis sehingga tidak efisien.
Jakarta (ANTARA News) - Pada pertemuan tahunan perbankan atau yang lebih familiar disebut Bankers Dinner 23 November 2012 lalu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution mengeluarkan sembilan kebijakan baru. Salah satu dari kebijakan tersebut yakni beleid izin berjenjang atau multilisensi.

Multilisensi ditelurkan untuk mengatur kegiatan usaha dan perluasan jaringan kantor bank berdasarkan modalnya. Darmin menilai ketidaksesuaian antara kapasitas bank dengan kegiatan operasionalnya merupakan salah satu faktor penyebab tidak efisiennya perbankan di Tanah Air.

"Masih banyak bank yang kegiatan operasionalnya tidak sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, bahkan beroperasi di bawah skala ekonomis sehingga tidak efisien," kata Darmin.

Bank Indonesia mengkaji, untuk bisa mulai beroperasi dalam skala ekonomis, suatu bank setidaknya harus memiliki modal inti Rp1 triliun. Kebutuhan modal inti ini akan meningkat menjadi minimum Rp5 triliun agar bank berada dalam kondisi skala ekonomis yang optimal.

"Tidak mengherankan jika kemudian tingkat efisiensi perbankan kita secara umum belum memuaskan," ujarnya.

Rasio BOPO (Biaya Operasional Pendapatan Operasional) yang mengalami penurunan hingga mencapai 74,26 persen pada September 2012 menunjukkan adanya peningkatan efisiensi. Namun menurut Darmin, masih banyak bank yang rasio efisiensinya masih di atas 90 persen bahkan beberapa bank di atas 100 persen.

Berdasarkan ketentuan multilisensi ini, terdapat empat kelompok usaha bank umum, yang didasarkan pada besaran modal inti. Dalam masing-masing kelompok usaha tersebut terdapat kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank sesuai jumlah modal inti yang dimilikinya.

Bank dengan modal inti Rp100 milyar sampai di bawah Rp1 triliun masuk ke dalam kelompok kegiatan usaha 1(satu) atau BUKU 1. Modal inti Rp1 triliun sampai di bawah Rp5 triliun masuk BUKU 2, Rp5 triliun sampai di bawah Rp30 triliun masuk BUKU 3, dan modal inti di atas Rp30 triliun masuk BUKU 4

Posisi suatu bank dalam kelompok usaha tertentu akan menentukan kegiatan usaha yang dapat dilakukannya. Semakin tinggi BUKU dan semakin tinggi modal inti yang dimiliki bank, maka semakin luas cakupan produk dan aktivitas yang dapat dilakukan bank tersebut.


Perluasan Jaringan

BI juga mendorong perbankan untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi di wilayah yang selama ini kurang terlayani. Oleh karena itu, pengaturan kegiatan usaha bank dikombinasikan dengan pengaturan kembali mekanisme pembukaan jaringan kantor bank.

Caranya adalah dengan menerapkan mekanisme insentif dan disinsentif melalui penggunaan alokasi modal inti dan zonasi wilayah, selain tentunya persyaratan tingkat kesehatan. Dengan mekanisme ini, bank dapat membuka jaringan kantor di suatu zona apabila tingkat kesehatannya memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan alokasi modal intinya mencukupi.

Direktur Utama PT Bank Mandiri Zulkifli Zaini menilai mekanisme pembukaan jaringan kantor bank oleh Bank Indonesia merupakan suatu kewajaran.

"Saya kira itu suatu hal yang wajar supaya bank tidak terpusat hanya di Jakarta ataupun di kota besar," katanya.

Menurut Zulkifli, pengaturan pembukaan kantor cabang sangat baik untuk pemerataan pembangunan di Indonesia dan kebijakan tersebut juga sudah dilaksanakan di luar negeri.

Sementara itu, Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) menilai semestinya BI hanya cukup memberikan insentif kepada suatu bank yang hendak membuka cabang di zona-zona yang sepi tanpa perlu memberikan disinsentif.

"Yang harus didorong bukan disinsentif, tapi insentif saja. Bukan justru tidak boleh kesana kemari," kata Ketua Perbanas Sigit Pramono.

Menurut Sigit, akan lebih baik bila BI memberikan insentif kepada suatu bank yang hendak membuka kantor cabang di wilayah Indonesia yang relatif sepi, khususnya Indonesia bagian Timur. Bank yang membuka kantor cabang di wilayah tersebut bisa mendapatkan keringanan oleh Bank Indonesia.

"Keringanan yang dimaksud itu misalnya, GWM (Giro Wajib Minimum), sistem insentif, dan bank-bank itu mendapat penghargaan. Saya lebih cenderung mendorong hal itu," tuturnya.

Di lain pihak, pengamat ekonomi Aviliani mengatakan, beleid multilisensi justru menambah biaya (cost) daripada efisiensi suatu perbankan. Terlebih akan ada desakan agar suatu bank membuka kantor cabang di Indonesia bagian Timur.

"Kalau disuruh buka di Papua belum tentu mendapatkan nasabah. Bank akan buka ketika aktivitas ekonomi di sana mulai ada kan. Namun sekarang pertanyaannya kapan itu ada?" kata Aviliani.

Aviliani mengatakan, perbankan bersifat fasilitator, bukan membuat terjadinya aktivitas ekonomi di suatu daerah. Menurutnya, tugas menghadirkan aktivitas ekonomi tersebut dipegang oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

"Untuk menumbuhkan perekonomian di suatu daerah itu kan bukan tugas bank-bank atau Bank Indonesia. Itu tugas pemerintah. Dan butuh waktu yang lama agar suatu daerah itu berkembang," ujarnya.


Efektivitas Perbankan

Angka efektivitas perbankan Indonesia 74,26 persen memang masih jauh dari ideal yang berada di kisaran 40-60 persen. Dibandingkan dengan negara- negara tetangga di Asia Tenggara, Indonesia masih kalah jauh dalam hal efisiensi perbankan. Rata-rata BOPO bank di Malaysia sekitar 40 persen, Vietnam 46,9 persen, Thailand 49,3 persen, Singapura 42 persen, dan Filipina yang hanya 74 persen.

Gubernur BI menegaskan akan mendorong perbankan menurunkan rasio BOPO ke level kisaran 60-70 persen karena hingga kini masih banyak bank yang belum memenuhi kriteria BOPO dari BI.

"Kita minta bank yang BOPO-nya lebih dari 90 persen agar diturunkan," kata Darmin.

Dari 121 bank umum di Indonesia, kurang dari 50 persen jumlah bank yang memenuhi kriteria BI. Beberapa bank yang masih punya ruang untuk lebih efisien akan dipanggil, terutama bank-bank yang BOPO-nya tinggi.

Selain BOPO, alat ukur efisiensi lainnya yakni NIM (Net Interest Margin). NIM adalah selisih bunga kredit dengan bunga simpanan nasabah. Melalui beleid multilisensi ini, BI mencoba menekan tingginya angka NIM dan BOPO perbankan di Indonesia.

Hal ini juga mengindikasikan bahwa suatu bank yang memiliki modal besar namun jika tidak efisien maka tetap tidak diperbolehkan melakukan pembukaan jaringan kantor. Bank pemilik NIM dan BOPO tinggi akan sulit mendapatkan izin dari BI untuk perluasan jaringan.

"Misalnya mereka ingin membuka 100 cabang tahun depan, bisa saja yang diizinkan hanya separuh. Terkecuali, mereka berjanji menurunkan NIM bertahap dengan target ketat. Kalau mau untung, perbesar volume kredit. Jangan mau untung besar dari bunga tinggi," kata Direktur Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Irwan Lubis.

BI menyatakan aturan multilisensi akan mulai efektif berlaku pada Januari 2013. Bank-bank akan diberikan kesempatan untuk melakukan transisi sesuai dengan waktu yang ditetapkan.

"Maret bank mulai buat action plan dan Juni menyesuaikan dalam rencana bisnis. Masa transisi tiga tahun untuk bank umum. Sementara untuk BPD (bank pembangunan daerah), masa transisi selama lima tahun, karena terkait juga dengan program BPD Regional Champion," kata Irwan.

Aturan multilisensi tersebut berlaku surut atau retroaktif. Oleh karena itu, bank-bank yang sebelumnya telah masuk dalam kegiatan usaha tertentu namun tidak memenuhi syarat modal inti, maka bisa menambah modal atau menghentikan kegiatan usahanya dan mulai menyesuaikan dengan kegiatan usaha yang termasuk dalam kelompok permodalannya.

Kebijakan multilisensi juga tentunya diharapkan akan menjadi salah satu faktor yang membuat kinerja perbankan Indonesia semakin efisien sehingga dapat meningkatkan daya saing khususnya dalam menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 mendatang.
(ANTARA)

Oleh Citro AT
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2012