Jakarta (ANTARA) - Di kota Mekkah, jangan berikhtiar mencari pernak-pernik Lebaran berupa ketupat sebagai simbol menyambut Idul Fitri 1444 H (2023 M).

Kota Suci Mekkah tentu berbeda dengan situasi di Indonesia. "Ini Mekkah, Bung," kata seorang rekan.

Jangankan kulit ketupat kecil tergantung, simbol ke-Islam-an lain sebagai tradisi menyambut Lebaran (Idul Fitri) tidak dijumpai di sini.

Setiap daerah dan negara memang mempunya cara masing-masing dalam menyambut Lebaran.

Nah, penulis masih penasaran. Sehari menjelang Lebaran, menyempatkan diri mendatangi kawasan pertokoan Zamzam Tower, Ajyad, Misfalah, dan beberapa tempat lainnya.

Di Mekkah, seperti yang disaksikan, warga setempat tak punya tradisi khas dalam menyambut Lebaran. Yang tampak, ketika berbelanja di salah satu pasar swalayan terbesar di kota itu, para warga lokal lebih banyak membeli coklat.

Berbeda dengan orang Betawi dan kota-kota lain di Pulau Jawa, yang menjelang Lebaran, banyak membeli kulit ketupat, daging (ayam), dan air santan kelapa sebagai kelengkapan bumbu membuat menu opor.

Di kalangan masyarakat Betawi ada kebiasaan orang yang lebih muda mengunjungi orang tua sebelum hari H Lebaran. Ketika bertandang itu, encang, encing, mamang, dan babe yang muda membawa opor ayam atau semur bandeng ke tempat engkong (kakek). Kebiasaan itu disebut nyorog.

Masih banyak tradisi lain di berbagai daerah Indonesia ketika menyambut Idul Fitri, yang di Mekkah, semua itu tidak ada.

Pada malam takbiran pun, warga Mekkah tidak banyak beraktivitas khusus untuk menyambut Lebaran, seperti memasak makanan khusus. Karena itu, bagi warga pendatang (mukimin) tidak bisa berharap banyak untuk menikmati makanan khas Arab secara gratis sebagai suguhan saat silaturahmi.

Pada malam takbiran pun, tak terdengar warga keliling kota sambil bertakbir. Sesekali memang terdengar suara takbir dari kejauhan. Kaum lelaki tua di kota itu, pada malam takbiran, berkelompok untuk berdoa, tapi tidak semalam suntuk, seperti di Jakarta.


Sinar laser

Lautan manusia di pelataran Masjidil Haram pada Ramadhan 1444 H (2023 M), Kamis (20/4) malam, tepatnya saat malam takbiran, dapat menikmati luapan kegembiraan sambil menikmati sinar laser di pelataran masjid tersebut.

Mereka menyambut kemenangan setelah menjalani ibadah puasa. Sementara itu askar sibuk mengalihkan jalur lalu lintas manusia dengan diwarnai suara bising. Sayang, upayanya mengurai kerumunan manusia itu kurang membuahkan hasil.

Ada yang sedih lantaran tubuhnya terhimpit. Bahkan ada yang pingsan.

Otoritas masjid memasang lampu sinar leser di perangkat jam besar. Pengunjung banyak yang mengabadikan momen indah dan langka tersebut.

Sementara kesibukan tampak di dalam kawasan pertokoan Zamzam Tower. Anak-anak yang disertakan pada perayaan malam takbiran itu ikut bergembira.

Ya, gembira karena orang tuanya memberi perhatian dengan membelikan barang baru bagi keperluan sang anak.

Pemerintah Arab Saudi menetapkan Lebaran jatuh pada Jumat, 21 April 2023. Pada malam itu tak digelar shalat tarawih dan qiyamullail, tapi animo pengunjung dari berbagai negara merayakan malam takbiran sangat tinggi.

Pukul 02.00 waktu setempat, jamaah umrah dari Tanah Air bersiap diri ke Masjidil Haram. Berangkat lebih awal agar mendapat tempat yang nyaman dan persis menghadap Ka'bah.

Meskioun demikian, jalan raya sudah dipenuhi jamaah dari berbagai negara. Mereka berjalan kaki pada malam hari menuju Masjidil Haram karena bus tak dapat bergerak.

Ada dua agenda di masjid tersebut. Pertama, ikut tawaf sunnah, lalu mengisi waktu menjelang Shalat Subuh sambil berzikir.

Itulah alasannya mengapa jamaah umrah mengenakan pakaian ihram. Jika tidak, maka askar melarang masuk area tawaf di lantai dasar. Hanya saja, Ihram yang dikenakan pada saat itu tidak sempurna karena jamaah masih memakai pakaian berjahit (celana dalam).

Mengenakan pakaian ihram untuk tawaf di dekat Ka'bah seperti itu dimaksudkan agar diizinkan petugas (askar) masuk areal tawaf dekat Ka'bah.

Agenda kedua, usai menunaikan Shalat Id atau Idul Fitri, sesama anggota umrah berlebaran. Bersalaman dan meminta maaf. Ada juga di antaranya menghubungi anggota keluarga di Tanah Air melalui telepon genggam.

Sementara warga setempat, terlihat juga bersalaman, tapi tidak seheboh orang Indonesia.

Yang menarik adalah para bocah yang disertakan ke masjid. Utamanya gadis mungil yang didandani orang tuanya dengan pakaian baru, menarik dan  menggemaskan. Mereka berlari mengejar anggota keluarganya lalu memperoleh bingkisan berupa coklat.

Penulis sempat menjumpai petugas kebersihan memberi hadiah berupa permen kepada anak-anak. Padahal, jika dilihat secara fisik, bocah itu tampak rapi, bersih mengenakan baju baru.

Baru sekali ini bicara orang Indonesia mengalahkan teriakan suara askar yang tengah mengatur jemaah. Seusai sholat Idul Fitri, ada di antara warga Indonesia bicara bersuara keras dan lantang lewat telepon dengan anggota keluarganya.

Menyaksikan warga Mekkah merayakan hari raya tak seperti di Indonesia. Warga tidak punya kebiasaan saling kunjung ke rumah warga lainnya. Bahkan mendatangi kediaman tetangga pun tak tampak.

Warga di kota tersebut lebih banyak mengunjungi orang tua, berkumpul bersama keluarga besar, dan memberi hadiah kepada anak-anak berupa permen atau coklat.

*) Edy Supriatna Sjafei adalah wartawan senior, pernah bekerja sebagai jurnalis di LKBN ANTARA hingga memasuki masa pensiun

Copyright © ANTARA 2023