Kuala Lumpur (ANTARA) - Nur Faridah masih tampak sedikit terengah saat duduk di bangku kosong platform mass rapit transit (MRT) laluan Kajang di stasiun MRT Bukit Bintang. Masih 5 menit lagi kereta yang akan membawanya ke Cochrane tiba.

Jika pekerja migran asal Jawa Timur itu tidak bercerita bahwa dirinya hendak pergi bekerja, orang pasti akan mengira dirinya hendak pergi berlebaran.

Dengan mengenakan hijab dan baju Muslim berwarna senada, kuning kunyit, pada hari kedua perayaan Idul Fitri 1444 Hijriah itu, Nur harus masuk kerja di salah satu perusahaan ritel perabot rumah tangga dan furnitur asal Swedia yang ada di sekitar Maluri, Kuala Lumpur.

Ia segera mengatur nafasnya yang masih terengah tadi. Peluh tampak sedikit membasahi wajahnya.

Sudah lima tahun ia bekerja di Malaysia, lima tahun juga dirinya tidak merayakan Idul Fitri di kampung halaman. Bekerja di saat libur Lebaran seperti ini menjadi hal biasa baginya.

“Tak ada libur. Libur sehari saja, itupun karena memang libur akhir pekan seminggu sekali,” kata Nur kepada ANTARA.

Namun ia menduga, pekerjaannya saat Lebaran kali ini tidak seberat tahun-tahun sebelumnya saat masih dalam masa pandemi COVID-19. Pusat perbelanjaan, termasuk di tempatnya bekerja, tidak akan seramai sebelumnya karena warga di Lembah Klang mayoritas pulang kampung.

Masuk hari kedua dan ketiga Idul Fitri, biasanya mereka di Kuala Lumpur yang tidak pulang ke kampung halaman akan berlibur keluar kota, dari mulai Langkawi hingga ke Penang, atau kota dengan objek wisata menarik lainnya.

Azhari dari Aceh Utara mendorong gula pasir di Pasar Chow Kit, Kuala Lumpur, Minggu (23/4/2023). (ANTARA/Virna P Setyorini)
Itu juga yang sedang Mimin Mintarsih, Warga Negara Indonesia (WNI) asal Cirebon yang puluhan tahun menetap di Malaysia, lakukan di hari ketiga Lebaran, yakni berwisata. Bersama keluarga dan kerabat ia berwisata ke Langkawi dengan menumpang feri.

Sehari sebelumnya ia sudah menginformasikan bagi mereka yang hendak datang bersilaturahmi untuk datang di hari raya keenam saja, karena hari raya ketiga hingga kelima dirinya tidak ada di Kuala Lumpur.

Ya benar, hari raya keenam, karena perayaan Hari Raya Idul Fitri di Malaysia cukup panjang, bisa sampai satu bulan. Selama masa itu, silaturahmi dapat terus berlanjut.

Sudah menjadi suatu yang lumrah sepanjang Syawal kegiatan saling berkunjung tetap berjalan, mengingat pada hari raya mereka akan berkumpul dengan sanak saudara di kampung halaman. Karenanya, setelah kembali lagi ke kota, mereka akan melanjutkan perayaan dengan bersilaturahmi bersama sahabat dan teman yang belum sempat mereka jumpai saat Idul Fitri.

Dalam pemerintahan di Malaysia, perayaan itu memang berlangsung lama, di mana Perdana Menteri Anwar Ibrahim sudah mengumumkan akan melaksanakan Rumah Terbuka Malaysia Madani di enam negeri berkaitan dengan Hari Raya Idul Fitri 1444 Hijriah.

Semua diundang hadir memeriahkan kegiatan itu. Untuk kali pertama Perdana Menteri Malaysia melaksanakan open house tidak hanya di Putrajaya yang menjadi ibu kota pemerintahan.

Pada 29 April nanti, PM Anwar akan berada di Alor Setar, Kedah, untuk mengawali open house, yang dilanjutkan ke Bukit Mertajam di Pulau Pinang pada 6 Mei, di Serembang-Negeri Sembilan pada 7 Mei, lalu dilanjutkan ke Kota Bharu di Kelantan pada 12 Mei, dan 13 Mei di Kuala Terengganu, dan ditutup dengan Rumah Terbuka Malaysia Madani di Batu Cave Selangor pada 14 Mei.
 

Suasana Kuala Lumpur

Pada Selasa (18/4) malam, sehari sebelum libur Idul Fitri dimulai, masyarakat di ibu kota mulai pulang kampung. PM Anwar memberikan hadiah hari raya bagi para pemudik di mana 33 ruas tol di sana gratis dilalui, mulai 19, 20, 21 April dan 24 April.

PM Anwar juga mengumumkan tambahan libur Lebaran pada Jumat (21/4) dan Senin (24/4). Karenanya, kepadatan arus milir mulai terjadi mengingat pada 25 April aktivitas perkantoran dan bisnis akan kembali dimulai, termasuk juga pelayanan di setiap kantor Perwakilan Republik Indonesia di Malaysia.

Selama libur Idul Fitri, kepadatan sejumlah ruas jalan di pusat kota Kuala Lumpur maupun di sekitarnya memang terasa berkurang.
 

Ruas jalan di Hari Kedua Idul Fitri di Seri Kembangan sekitar Kuala Lumpur, Minggu (23/4/2023). (ANTARA/Virna P Setyorini)
Jika aktivitas pasar tradisional Chow Kit belum kembali normal, pusat perbelanjaan di pusat kota Kuala Lumpur, seperti Lot 10 dan Pavilion di Bukit Bintang, justru ramai pengunjung oleh wisatawan dan mereka yang memang tidak merayakan Hari Raya Idul Fitri.

WNI Riana Hapsari bersama suami dan putranya justru baru saja tiba dari Yogyakarta untuk berlibur di Kuala Lumpur pada hari kedua Idul Fitri. Dengan mengenakan pakaian rapi mereka menaiki monorail di stasiun Chow Kit menuju Kebon Nanas untuk melanjutkan berjalan kaki ke KLCC atau menara kembar.

Rencananya mereka akan berkeliling kota dengan transportasi publik yang memang tidak terlalu padat saat libur Lebaran. Beberapa lokasi yang menarik perhatian untuk mereka datangi, selain Twin Tower adalah Petaling Street, hingga Dataran Merdeka.

Konektivitas antara kota-kota besar ASEAN yang semakin baik memudahkan mereka melakukan perjalanan dengan biaya yang relatif terjangkau. Riana mengaku harga tiket pesawat yang terjangkau membuat keluarga kecilnya memilih libur Lebaran tahun ini berkunjung ke negeri jiran.

 

Memilih bekerja

Meski demikian, tidak semua dapat merasakan kebersamaan untuk merayakan hari yang fitri bersama keluarga. Azhari, pekerja migran asal Aceh Utara, sibuk mendorong puluhan kilogram (kg) gula pasir dengan troli di Jalan Raja Alang, Kampung Baru, Kuala Lumpur, pada hari kedua Lebaran.

Ia sempat berhenti di satu tenda tidak jauh dengan warung mi Aceh, tempat kerjanya. Peluh terlihat mengalir di keningnya.

Matahari belum lagi berada tepat di atas kepala, namun suhu di kawasan Asia Tenggara, beberapa hari terakhir memang cukup tinggi. Jika di Thailand sempat tembus 50 derajat Celsius, di Kuala Lumpur dapat mencapai 33 derajat Celsius.

Azhari yang sudah empat tahun bekerja di Malaysia mengatakan hanya merasakan libur Idul Fitri satu hari saja. Dia memang sengaja tidak pulang kampung untuk merayakan Lebaran di Aceh Utara karena beberapa bulan sebelumnya sudah kembali ke kampung halaman.

Sama halnya dengan Ayu, asal Kediri, yang sudah lama berjualan gado-gado dan menu masakan Jawa lainnya di Chow Kit. Pagi menjelang siang itu dirinya sudah sibuk melayani pembeli.

“Dari pada di rumah enggak ada temannya, lebih baik kerja saja. Di sini (pasar) justru banyak ketemu orang,” ujar Bu Ayu, sambil tetap menguleg sambel kacang di cobek ukuran jumbo miliknya.

Ia mengaku baru saja pulang dari Kediri dan sengaja memilih balik ke Kuala Lumpur untuk berlebaran di sana. Lagi pula, pelanggannya, baik WNI maupun warga Malaysia, sudah banyak yang menanti.

Kesempatan itu justru menjadi saatnya bersilaturahmi dengan pelanggannya.

“Yu, piye kabare? Maaf lahir batin ya Yu (Mbak, bagaimana kabarnya? Maaf lahir batin ya Mbak),” kata seorang ibu lain mendatangi saat Ayu yang masih mengulek bumbu gado-gado.

Mereka bersalaman dan berbincang sejenak sebelum melanjutkan aktivitas masing-masing. Silaturahmi itu akan terus berlanjut sampai satu per satu mereka yang mudik balik kembali lagi ke kota dan memulai lagi aktivitasnya seperti biasa.

Perayaan Hari Raya Idul Fitri masyarakat ASEAN memang panjang. Kesamaan tradisi itu menjadi istimewa untuk saling menguatkan, menjadikan kawasan sebagai pusat pertumbuhan dunia, seperti halnya tema Keketuaan ASEAN Indonesia 2023, “ASEAN Matters: Epicentrum of Growth”.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023