Jakarta (ANTARA) - Pakar ilmu kesehatan yang juga Direktur Pasca-Sarjana Universitas YARSI, Prof Tjandra Yoga Aditama meminta Indonesia mengembangkan investasi anggaran dan inovasi untuk menanggulangi penyakit malaria.

"Di dunia, dan tentunya juga di Indonesia, dikenal program 3I dalam penanggulangan malaria, yaitu investasi, inovasi, dan implementasi," kata Tjandra Yoga Aditama yang dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.

Tjandra yang juga mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara melaporkan data dunia terkait kesenjangan investasi yang terus meningkat antara dana yang tersedia dan yang dibutuhkan untuk menanggulangi malaria.

Baca juga: Kemenkes percepat eliminasi Malaria di Papua melalui Gebrak Siamal

Salah satunya, World Malaria Report per Desember 2022, menyebutkan dana yang dibutuhkan dunia untuk penanggulangan malaria berkisar 7,3 miliar dolar AS atau setara Rp109 triliun, sementara yang tersedia hanya 3,5 miliar dolar AS atau setara Rp52 triliun.

"Jadi, ada gap 3,8 miliar dolar AS, ini meningkat dibandingkan gap tahun 2019 sebesar 2,6 miliar dolar AS dan di tahun 2020 sebesar 3,5 miliar dolar AS," katanya.

Tentang inovasi, kata Tjandra, peneliti sedang mengembangkan alat terbaru diagnosis malaria yang dapat mengatasi delesi gen HRP2/3 serta diagnosis melalui saliva dan urin.

Dikatakan Tjandra penelitian vaksin malaria juga berkembang, salah satu yang cukup menjanjikan adalah R21 yang merupakan jenis vaksin S.

"Berbagai obat malaria baru juga terus diteliti, termasuk yang sifatnya non-ACT dan juga triple ACTs. Untuk pengendalian vektor, ada sekitar 28 produk yang sedang diteliti," katanya.

Baca juga: Lima regional ditetapkan Kemenkes jadi target eliminasi malaria

Sesudah investasi dan inovasi, kata Tjandra, yang paling penting saat ini adalah bagaimana implementasi di lapangan.

"Kami berharap agar Indonesia juga dapat mengatasi kesenjangan investasi anggaran untuk malaria, juga perlu ikut dalam perkembangan ilmu dalam inovasi penanggulangan malaria, dan yang paling penting adalah melakukan implementasi di lapangan agar malaria dapat dikendalikan," katanya.

25 April diperingati sebagai Hari Malaria Sedunia. World Malaria Report yang diterbitkan pada Desember 2022, malaria membunuh sekitar 619.000 orang di dunia pada 2021.

Jumlah itu menurun dibandingkan data 2020 sebanyak 625.000 jiwa kematian di dunia.

"Jumlah kasusnya di dunia amat fantastis, 247 juta kasus baru malaria di tahun 2021, naik dari angka 2020, yaitu 245 juta," katanya.

Untuk Indonesia, World Malaria Report terbaru mempublikasi peningkatan kasus pada periode 2020 dan 2021, yang bersamaan dengan peningkatan kasus di India, Myanmar, Korea Utara, dan Bangladesh.

"Laporan ini menggambarkan tentang negara-negara di WHO Asia Tenggara, dimana pada 2021 Timor-Leste sudah melaporkan tidak ada kasus lagi (zero malaria cases)," katanya.

Baca juga: Peneliti BRIN: Program pengendalian malaria harus terintegrasi

Baca juga: Peneliti Pusat Riset Biologi: Program eliminasi malaria belum efektif


Sementara negara dengan tanpa kematian akibat malaria atau zero malaria deaths adalah Bhutan, Korea Utara, Thailand, dan Timor-Leste.

"Semua negara lain di WHO Asia Tenggara menunjukkan penurunan kematian yang cukup tinggi, 40 persen atau lebih, kecuali Indonesia yang hanya menunjukkan penurunan kematian di bawah 25 persen," ujarnya.

Data dari Laman WHO Indonesia memperkirakan ada 1.412 kematian akibat malaria pada 2021 di Indonesia, lalu ada 811.636 estimasi kasus malaria baru pada 2021, serta 89 persen dari kasus malaria di Indonesia terjadi di Papua.

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023