Dili (ANTARA News) - Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengakhiri misi perdamaian 13 tahunnya di negara Asia termuda Timor Leste, dengan berharap negara tersebut dapat mengatasi kemiskinan masa lalu yang merajalela agar dapat berdiri di atas kaki sendiri.

Timor Leste tahun ini melakukan pemilihan umum secara damai, untuk memilih presiden dan parlemen baru, sebagai negara yang menandai satu dasa warsa kemerdekaan formal sehingga membuka jalan bagi pasukan asing untuk meninggalkan negara tersebut.

Namun, ketika polisi dan pasukan PBB yang tersisa meninggalkan negara itu, demokrasi yang rapuh masih berkutat dengan kekurangan gizi, tingkat pengangguran tinggi dan tingkat kematian ibu, yang termasuk terburuk di dunia.

Timor Leste menjadi wilayah Indonesia selama 24 tahun, sebelum penduduk daerah tersebut memilih untuk merdeka pada 1999 dalam sebuah referendum berdarah, yang mendorong pengiriman misi pertama PBB.

Ada sedikit kekhawatiran tentang kekerasan yang terjadi dalam waktu dekat, karena kesempatan kerja yang sedikit, kemiskinan dan populasi yang berkembang pesat masih bisa mengancam perdamaian dalam jangka panjang, kata para analis.

"Dalam situasi ini, potensi berbuat kesalahan bisa serius terjadi," kata George Quinn dari Universitas Nasional Australia.

Menurut AusAID, lebih dari 40 persen pengangguran di Timor Leste adalah kaum muda, dan meskipun bangsa, yang mayoritas beragama katolik tersebut memiliki populasi kecil, tingkat kesuburan perempuannya merupakan yang tertinggi ke empat di dunia, kata data dari PBB.

Meskipun 1,5 miliar dolar AS bantuan mengalir ke negara dengan penduduk 1,1 juta orang tersebut selama dekade terakhir dengan minyak di lepas pantai dan gas berlimpah, 41 persen populasi hidup serba kekurangan berada di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan 88 sen dolar per hari.

Di dan sekitar ibu kota Dili, dapat dilihat anak tanpa alas kaki memakan sisa makanan di daerah kumuh, dan laju kehidupan tetap lambat, dengan penjual memberi harga murah di pasar buah dan sayur.

Data Bank Dunia dari 2010 menunjukkan anak balita yang kekurangan gizi naik menjadi 45,3 persen dari 40,6 persen pada 2012, sementara pada indeks pembangunan manusia PBB, Timor Leste berada di urutan 147 dari 187 negara, di bawah Pakistan dan Bangladesh, dan jauh di bawah rata-rata regional.

Perekonomian Timor Leste juga menjadi tampak dua lapis sejak 1999, mereka yang meraup berdolar-dolar Amerika Serikat dari proyek-proyek infrastruktur pemerintah di daerah perkotaan, sementara mayoritas adalah petani yang memenuhi kebutuhan hidupnya jauh di desa.

Perdana Menteri Xanana Gusmao menegaskan pemilihan ulang Juli, pendapatan dari energi akan merubah Timor Leste dari negara yang tidak berkembang, berpendapatan rendah, menjadi negara yang mampu memanfaatkan semua materi dan potensi sumber daya manusianya pada 2030.

Sementara itu dana perminyakan negara membengkak menjadi 10,5 miliar dolar dan membuat 80 hingga 90 persen dari pendapatan pemerintah, para kritikus menunjukkan cadangan tersebut untuk diversifikasi ekonomi.

Masyarakat pedesaan Timor Leste juga mengeluhkan bahwa uang tidak merubah kehidupan mereka, dan mengatakan bahwa dana disalurkan ke kota melalui proyek-proyek infrastruktur.

"Timor Leste selalu memiliki masalah dengan pencairan dana dan masalahnya masih bertahan," kata Quinn.

Meskipun Timor Leste masih menghadapi masalah, pasukan PBB yang tersisa, yang berjumlah 1.600 personil pada saat puncaknya, tetap menggarisbawahi kemajuan negara ini yang dibuat dalam beberapa tahun terakhir.

Penarikan pasukan tersebut disambut oleh sebagian besar pihak, terutama para pemimpin yang menekankan pada kemampuan negara untuk menangani keamanannya sendiri dengan baik sebelum tanggung jawab keamanan diserahkan ke polisi nasional pada Oktober.
(S038)

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2012