Pamekasan (ANTARA) - Masyarakat Desa Larangan Badung, Kecamatan Palengaan, Pamekasan, mengenal Muna Masyari hanya sebagai perempuan dengan profesi penjahit pakaian dan istri dari lelaki bernama Muhatip, bukan cerpenis.

Ketika wartawan ANTARA berkunjung ke rumah cerpenis perempuan bernama lengkap Munawaroh Masyari ini bertanya ke beberapa warga satu desa, mereka menjawab, "Tak oneng" alias tidak tahu.

Hal sama juga saat menyebut nama Muna dengan keterangan berprofesi penjahit dan penulis, warga juga bingung. Mereka sebetulnya ingin membantu, tapi tidak tahu siapa dan dimana Muna tinggal.

Bahkan, ketika Muna, perempuan kelahiran Pamekasan, Madura, 26 Desember 1985, itu membagikan aplikasi pencarian lokasi lewat pesan, tidak banyak membantu karena Desa Badung yang kontur tanahnya berbukit-bukit, dipenuhi banyak jalan bercabang.

Beruntung saat itu, ada kepala desa setempat yang mengenal Muna sebagai penjahit dan suaminya sebagai tukang reparasi barang elektronik. Kebetulan Muhatip juga muncul di hadapan kepala desa dan kemudian mengantar ke rumahnya.

Muna bercerita bahwa memang tidak banyak warga desanya yang mengenal ia sebagai penulis terkemuka dan masuk dalam daftar sastrawan dengan ikonik lokalitas yang dimiliki negeri ini.

"Warga di sini memang hanya mengenal saya sebagai penjahit," kata perempuan lulusan setara madrasah tsanawiyah ini sambil tersenyum.

Meskipun sudah terakui sebagai penulis hebat dan mendapatkan banyak penghargaan bidang satra, ibu dari empat anak (dua orang meninggal) ini tidak hendak meninggalkan profesi awal sebagai penjahit.

Bagi dia, antara menulis cerpen dengan menjahit ibarat dua sisi dari sekeping mata uang. Kalau di luar dia terkenal lewat karya cerpen, semua itu juga berangkat dari pekerjaan hariannya sebagai penjahit.

Kalau penulis pada umumnya memerlukan kesunyian suasana dan fokusnya pikiran untuk mendapatkan ide dan mengembangkannya menjadi cerita menarik, tidak demikian dengan Muna.

Muna justru mengaku banyak mendapatkan ide menulis cerpen saat dirinya mengerjakan pesanan jahitan pakaian. Dulu, ia biasa menggunakan perangkat telepon seluler pintar untuk mengikat idenya agar tidak menguap. Kini, dia sudah menyandingkan laptopnya di sebelah kiri meja alat menjahit.

"Jadi, kegiatan menulis cerpen ini bagi saya tidak menyita waktu khusus. Begitu muncul ide di sela menjahit, saya langsung hidupkan laptop," kata perempuan yang tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan "terseret" pada dunia mengulik kata ini.

Kalau penulis lain mungkin banyak menghabiskan waktu malam sendirian untuk menuangkan ide, Muna justru mengaku sering mengantuk saat malam hari. Apalagi di siang hari dia tetap berkutat dengan pekerjaan domestik, seperti memasak dan mencuci pakaian.

Ia juga tidak bisa mendapatkan ide menulis apapun ketika berniat menemukan ide dengan berdiam diri tanpa aktivitas menjahit. Pikirannya justru buntu di saat berdiam diri tanpa tubuhnya melakukan kegiatan.

Kalaupun memerlukan waktu khusus, paling-paling hanya saat Muna hendak mempercantik tulisannya yang biasa dikenal dengan sentuhan akhir.
Muna Masyari saat menerima seorang mahasiswa dan siswa MA yang ingin mendalami dunia menulis cerpen di rumahnya di Pamekasan, Madura, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. (Masuki M. Astro)

Ada adagium bahwa untuk menghasilkan yang banyak dan berkualitas, seorang penulis harus banyak membaca. Hal itu juga dilakukan oleh Muna. Untuk membaca ini, dia juga tidak meluangkan waktunya secara khusus. Ia terbiasa membaca karya orang lain ketika hendak tidur atau saat antre mengurusi sesuatu, seperti di bank dan lainnya.

Mengenai media untuk menuangkan ide, dulu Muna menggunakan telepon genggam (handphone) dan untuk mengirim karyanya ke media massa, dia harus pergi ke wartel. Namun seiring semakin bagusnya sinyal komunikasi untuk internet di sekitar rumahnya, kini dia bisa mengerjakan semua karyanya dari rumah.

Bahkan, untuk memperkaya pengetahuan tentang berbagai hal, termasuk membaca karya sastrawan lain, ia juga membuka internet dari rumah. Muna saat ini sudah menjadi anggota dari Perpustakaan Nasional yang menyediakan peminjaman buku secara daring.

Selain menjadi bagian dari proses kreatifnya, bagi dia, penghasilan dari menjahit tetap menjadi yang utama, meskipun dari karya tulis sastranya kini juga sudah tidak sedikit menghasilkan uang.

Bagi dia, menjahit adalah penghasilan sehari-hari, sedangkan menulis adalah penghasilan sewaktu-waktu. Ia juga menyadari kalau seseorang hanya fokus menulis, maka secara ekonomi keluarga tidak akan stabil.

"Jadi, dengan menulis itu memang harus memiliki pekerjaan utama agar kebutuhan keluarga dapat terjaga secara stabil," ujar perempuan yang cerpennya berjudul "Kasur Tanah" masuk dalam Cerpen Pilihan Kompas 2017 itu.

Muhatip yang sama sekali tidak mengenal dunia tulis menulis, diakui Muna sangat mendukung kegiatannya menulis cerpen. Bahkan, ketika menghadiri acara terkait sastra, hampir selalu Muhatip selalu meluangkan waktu untuk mengantarnya.

Hanya saja, Muhatip membatasi Muna beraktivitas di malam hari. Apalagi dengan tinggal di daerah perdesaan, nilai sosial bahwa perempuan tidak boleh pulang malam, semakin menguatkan Muna untuk mematuhi komitmen dengan suaminya itu.

"Saya sangat mendukung kegiatan istri saya untuk aktif menulis, meskipun saya sendiri tidak tahu apa-apa mengenai tulis menulis ini," kata Muhatip.

Pelajari karya penulis lain

Muna bercerita bahwa kemampuannya menulis tidak berangkat dari teori sastra, baik yang dipelajari saat di sekolah maupun dari buku-buku tentang sastra. Ia malah banyak belajar dari membaca karya cerpen penulis lain.

Saat masih di sekolah dasar, ia banyak membaca karya sastra di perpustakaan sekolah. Saat di madrasah tsanawaiyah, kebiasaan itu masih terus berlanjut dan baru praktik belajar menulis ketika sudah dewasa dan banyak terbantu oleh Facebook.

Bahkan, secara terus terang ia mengaku banyak berhutang budi pada FB. Lewat media soaial pertemanan itu ia semakin banyak mengenal karya-karya yang dinilainya berkualitas dan berkesan. Lewat media itu juga banyak berinteraksi dengan penulis lain yang sama-sama baru belajar merintis dunia kepenulisan sastra.

Bahkan lewat media itu ia juga banyak tahu mengenai alamat pengiriman cerpen ke beberapa media, termasuk ketika cerpennya dimuat di media yang jauh dari Madura baru diketahui setelah temannya mengunggah di grup.

Untuk masa-masa mendatang, Muna tidak menaruh harapan yang muluk-muluk, kecuali hanya agar dia tetap produktif dan tidak terjebak pada keadaan "mati karya" setelah seseorang banyak menghasilkan karya.

Untuk generasi muda, ia sangat ingin mendukung mereka, khususnya di wilayah Madura untuk gemar membaca. Mengenai kegiatan menulis, ia percaya bahwa hal itu tidak bisa dipaksakan. Hanya sja, jika anak muda sudah suka membaca, maka keinginan untuk menghasilkan karya akan timbul dengan sendirinya.

Sementara itu, dosen sastra Indonesia dari Universitas Madura (Unira) Pamekasan, Muhammad Tauhed Supratman, MPd, menyatakan salut atas dedikasi dan komitmen Muna Masyari dalam berkarya serta keteguhan pilihan karyanya pada tema lokal Madura.

Sudah sepantasnya sosok Muna dijadikan suri tauladan dalam hal berliterasi. Muna adalah seseorang yang sudah berliterasi dengan sebenarnya.

Kehadiran Muna dalam jagad sastra menjadi pengingat bagi insan yang terdidik bahwa begitu banyak sarjana yang hakikatnya "masih gagal" dalam berliterasi. Hanya ungkapannya saja yang menggema tentang literasi, namun hasilnya tidak nyata.

Karena itu, Muna layak digolongkan sebagai sosok literat sejati dan sudah sepatutnya juga ditiru oleh generasi lain.

Pelajaran yang bisa kita petik dari munculnya karya-karya Muna adalah keberhasilan dia menjadi penulis tidak ditentukan oleh pendidikan, tetapi komitmen dan ketekunan dalam belajar di luar bangku institusi pendidikan.

Dengan modal ketekunan seperti Muna, seseorang bisa menjadi penulis yang sukses dan produktif, bahkan mengalahkan orang yang berpendidikan lebih tinggi.

"Saya pribadi sangat terkesan dengan tema-tema lokalitas Madura karya Mbak Muna," katanya, dalam perbincangan dengan ANTARA.

Dengan konsistensi pada pilihan tema tentang Madura, Muna menjadi sosok yang mampu menyambung keterputusan antargenerasi Madura. Ia banyak memberi pengetahuan tentang Madura dengan kekayaan tradisinya kepada generasi muda lewat karya cerpen.

Bahkan, kini Tauhed yang juga dikenal sebagai sastrawan Madura ini menjadikan cerpen-cerpen karya Muna sebagai bahan analisis dalam buku Apresiasi Prosa Fiksi yang baru terbit Maret 2023.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023