Kudus (ANTARA) - Tradisi Bulusan di Desa Hadipolo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, muncul dari cerita nenek moyang yang terkait asal muasal munculnya hewan air yang bernama bulus atau labi-labi yang diyakini merupakan jelmaan dari dua manusia bernama Kumoro dan Komari, murid dari Kiai Dudo.

Sesuai keyakinan, peristiwa tersebut terjadi pada malam 17 Ramadhan ketika ada peringatan Nujulul Quran di Desa Hadipolo yang dilaksanakan selesai Shalat Tarawih.

Pada kesempatan tersebut hadir Sunan Muria, namun saat acara berlangsung dua murid Kiai Dudo, Kumoro dan Komari mengeluarkan suara gaduh karena sedang mengambil benih padi. Lantas kedua orang tersebut dikira bulus, setelah dilihat keduanya menjadi bulus.

Meskipun telah berubah menjadi bulus, nantinya setiap 8 Syawal akan diperingati oleh anak cucunya tanpa harus diundang.

"Akhirnya, warga secara turun temurun melestarikan tradisi tersebut dengan merayakannya tradisi bulan Syawal dengan sebutan tradisi bulusan," kata Ketua Panitia Perayaan Tradisi Bulusan Desa Hadipolo Mursidi kepada ANTARA.

Tradisi bulusan, bagi warga sekitar dianggap sebagai upaya memperingati hari lahirnya (haul) bulus, jelmaan dari Kumoro dan Komari.

Perayaan tradisi bulusan diperkirakan berlangsung sudah lama, yakni sejak puluhan tahun ketika Sunan Muria masih menjalankan syiar agama Islam di daerah tersebut.

Karena pelaksanaannya juga bertepatan dengan bulan Syawal, maka tradisi itu dimaknai pula sebagai ajang untuk bersilaturahmi dan saling memaafkan antarsesama, setelah sebelumnya menjalankan puasa sebulan penuh.

Sebelumnya tradisi bulusan digelar sederhana, yakni dilakukan doa bersama kemudian dilanjutkan dengan pemberian makan terhadap sejumlah bulus yang kala itu masih berada di aliran sungai berupa ketupat dan lepet. Kini bulus yang sudah berkembang biak menjadi belasan ekor itu ditempatkan di kolam khusus.

Seiring animo masyarakat yang begitu besar untuk melihat tradisi bulusan, akhirnya dimeriahkan dengan aneka rangkaian kegiatan.

Di antara aneka kegiatan itu, ada kirab gunungan hasil bumi dari warga sekitar dengan rute di jalan perkampungan hingga berakhir di tempat bulus tersebut berada. Kemudian hasil bumi tersebut diperebutkan warga yang mereka yakini bisa mendatangkan berkah karena sudah mendapatkan doa dari ulama setempat.

Acara dilanjutkan dengan penyerahan kupat dan lepet kepada juru kunci bulusan, lantas diberikan kepada bulus sebagai makanannya.

Pada malam harinya, dilanjutkan dengan pementasan wayang kulit sekaligus ikut melestarikan kebudayaan lokal terkait wayang kulit yang saat ini mulai ditinggalkan generasi muda, salah satunya karena mereka lebih kenal dengan permainan yang tersaji dari gawai.


Meriah pasca-pandemi

Adanya pandemi COVID-19 sempat membuat tradisi bulusan tidak bisa digelar secara meriah. Tradisi itu hanya digelar secara sederhana tanpa ada rangkaian kegiatan yang bisa mendatangkan massa.

Setelah dua tahun digelar secara sederhana, kini kembali digelar secara meriah. Bahkan, diklaim jauh lebih meriah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya karena tercatat ada banyak titik lokasi arena hiburan bianglala.

Jumlah gerai pedagang juga cukup banyak karena diperkirakan mencapai ratusan gerai, mengingat pengunjungnya setiap tahun sebelum pandemi cukup banyak.

Tradisi bulusan, selain untuk melestarikan budaya desa setempat, juga menjadi ajang promosi potensi usaha serta untuk menggerakkan roda perekonomian masyarakat setempat.

Harapannya para pelaku usaha di desa setempat semakin berkembang dan maju, karena setiap tahunnya ada ajang untuk mempromosikan produk kepada masyarakat luas.

Pengunjung yang hadir pada acara bulusan tersebut, bukan hanya dari Desa Hadipolo, melainkan dari berbagai daerah di Kudus. Bahkan, ada yang berasal dari luar kota hanya untuk melihat tradisi bulusan tersebut.

Dian, salah satu warga Kabupaten Pati, mengakui tertarik melihat tradisi bulusan karena memang unik dan tidak ada di daerah lain.

Ia mengaku sudah beberapa kali menyaksikan tradisi bulusan, termasuk dari saat kirab hingga prosesi pemberian makan pada bulus.

Melihat animo masyarakat, maka tradisi ini juga bisa menjadi alternatif wisata murah di Kudus setelah Lebaran karena terdapat banyak permainan, mulai dari bianglala, tong setan, hingga ada permainan air yang tentunya menjadi daya tarik bagi semua umur.

Tradisi Syawalan di Kabupaten Kudus memang cukup banyak, namun dari yang ada, hanya Tradisi Bulusan yang unik dan berlangsung sejak lama pada era Sunan Kudus.

Tradisi Syawalan lain yang sering digelar di Kudus, yakni tradisi 1.000 Kupat Desa Colo, Kecamatan Dawe, Sendang Jodo, Desa Purworejo, Kecamatan Bae, dan Tradisi Lomban Desa Kesambi, Kecamatan Mejobo.

Meskipun hanya digelar setiap tahun, namun kolam tempat bulus dipelihara juga sering dikunjungi masyarakat yang memiliki hajat tertentu. Mereka juga menyiapkan sejumlah makanan yang nantinya diberikan kepada bulus yang ada di kolam tersebut.

Alasan bulus ditempatkan di kolam khusus yang berada di dekat aliran sungai karena khawatir ketika curah hujan tinggi akan terjadi banjir dan bulus tersebut juga ikut terbawa arus.

Jika saja kolam untuk memelihara bulus yang merupakan salah satu jenis kura-kura bercangkang lunak atau penyu air tawar cangkang lunak (freshwater softshell turtle) tersebut dibuat lebih menarik, tentunya pengunjung yang hadir di luar acara Syawalan akan tetap banyak. Karena selain memiliki nilai sejarah, juga menjadi arena edukasi bagi generasi muda terkait budi daya hewan air tawar tersebut.

Setelah dikembangkan menjadi objek wisata baru di Kabupaten Kudus, tentunya akan mendatangkan pemasukan bagi desa serta menumbuhkan perekonomian masyarakat sekitar karena semakin banyak pengunjung, maka akan muncul usaha-usaha baru dalam rangka memenuhi kebutuhan pengunjung. 

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023