Yogyakarta (ANTARA News) - Orangtua siswa kelas enam Sekolah Dasar (SD) Manding Tengah, Kabupaten Bantul yang anaknya akan melaksanakan Ujian Akhir Sekolah Daerah (UASD) mulai 5 Juni, meminta keringanan syarat nilai kelulusan, mengingat kurangnya kesiapan pada pasca gempa 27 Mei 2006. "Untuk mencapai standar nasional nilai UASD 4,26, rasanya saat ini sulit dicapai. Mestinya ada keringanan sedikit untuk anak-anak kami, karena kondisinya memang jauh berbeda dengan anak-anak lain yang sekarang bisa menyiapkan ujian dengan normal," ujar Siti Purwanti, ibu dari Eri Purwanti siswa SD Manding Tengah, Bantul, Minggu. Rumah Siti dan hampir seluruh milik warga Manding Tengah rusak berat. Untuk menyambung hidup saja, seperti kebanyakan korban gempa lainnya, mereka menempati tenda swadaya di halaman sekolah tempat anaknya menimba ilmu. "Seminggu ini anak saya tidak bisa belajar, karena kondisinya tidak memungkinkan, dan kami harus tidur di tenda bersama tujuh keluarga lainnya," katanya. Pada malam hari yang biasanya digunakan untuk belajar, menurut dia, kini tidak memungkinkan lagi. Dengan tenda yang hanya dirakit dari terpal seadanya, sangat jauh berbeda dengan kondisi rumahnya sebelum terjadi gempa Sabtu (27/5) pagi itu. Dusun yang sampai sekarang belum tersentuh bantuan dari pemerintah itu, juga mengalami kesulitan penerangan. Selama listrik belum menyala, mereka hanya mengandalkan penerangan tradisional yang alatnya masih bisa diselamatkan dari reruntuhan bangunan rumahnya. Ditambah lagi dengan ramainya anak-anak dari keluarga lain yang tinggal di tenda tersebut, membuat Eri sulit memusatkan perhatian pada materi pelajaran yang akan diujikan. "Akhirnya dia hanya mengikuti suasana yang terbentuk dalam kehidupan kami yang baru ini," ujarnya. Eri sendiri mengaku tidak dapat berbuat banyak untuk mengupayakan agar ujian yang akan menjadi representasi dari kerja kerasnya selama enam tahun itu hasilnya baik. "Besok Senin ujian matematika. Siap tidak siap, harus ujian besok. Saya tidak bisa memilih, dan harus mengikuti peraturan," kata Eri. Sebenarnya ia sangat bersemangat mengikuti ujian ini. Itu dibuktikan, pada sebulan terakhir ini Eri mengikuti les privat dengan mengundang seorang tenaga pengajar di rumahnya, tiga kali dalam satu minggu. Tetapi, usahanya itu tidak bisa dilanjutkan lagi, karena banyak alasan. Kini mereka tidak punya hunian tetap, tidak memiliki biaya untuk membayar guru les, dan gurunyapun tidak bisa lagi mengajar karena terkena bencana yang sama. Sehingga, dia hanya bisa pasrah pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Ketika ditanya mengenai kemungkinan berapa nilai yang diperoleh esok, dia hanya diam dan menundukkan kepala. Selama tiga hari nanti ia akan menjalani ujian di halaman belakang sekolahnya, karena gedung sekolahnya tidak bisa ditempati lagi. Menurut salah seorang gurunya, Surati, tempat inipun sebenarnya bukan tanpa resiko. Karena itu, pihaknya mengimbau apabila para siswa merasakan ada guncangan, disarankan agar segera berlari. Seminggu ini kegiatan belajar mengajar di sekolahnya terhenti total. Hanya pada Sabtu (3/6) lalu, bersama para guru lainnya ia bisa mengumpulkan seluruh siswa untuk diberi pengarahan dan dorongan psikologis.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006