Kendari (ANTARA) - Asyiknya menunggangi kuda mengelilingi permandian mata air Wakante dapat melepas lelah, usai mengendarai sepeda motor selama kurang lebih 30 menit dari Raha, Ibu Kota Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.

Saat momen libur hari besar keagamaan nasional (HBKN) Idul Fitri ataupun libur lainnya, tentu banyak masyarakat mengisi waktu dengan mengunjungi berbagai tempat wisata yang ada di daerah atau kampung halaman masing-masing.

Salah satu objek wisata yang memiliki daya tarik untuk dikunjungi bersama keluarga, orang tercinta ataupun kerabat lainnya adalah Permandian Mata Air Wakante.

Salah satu permandian yang menjadi favorit dan bagus untuk dikunjungi itu terletak di Desa Latugho, Kecamatan Lawa, Kabupaten Muna Barat, Provinsi Sulawesi Tenggara. Daerah ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Muna.

Tak hanya menjadi andalan bagi masyarakat setempat, daya tarik wisata ini sudah tersohor di luar Kabupaten Muna Barat, sehingga selalu ramai dikunjungi, apalagi di momen hari libur. Pengunjung yang menggunakan kendaraan roda dua cukup membayar Rp2.000 dan Rp5.000 bagi roda empat di pintu masuk.

Permandian berbentuk kolam, namun tampak berukuran besar ini sangat indah dipandang, dikelilingi pepohonan yang menjulang tinggi, membuat wisatawan merasa nyaman ketika berada di objek wisata ini.

Permandian ini jauh dari hiruk pikuk dan kebisingan knalpot dan padatnya kota yang tak jarang membuat pikiran terganggu. Pengunjung dibuat nyaman, apalagi senyum sapa ramah warga setempat.

Menariknya, permandian ini bak menghipnotis pengunjung karena suguhan dan pemandangan alam serta airnya yang membuat badan tak sabar untuk masuk ke dalam air yang sejuk.

Ketika wisatawan berada di objek wisata ini, pengunjung bisa menikmati sejuknya air permandian Wakante yang sumbernya keluar dari akar pohon yang menjulang tinggi.

Pengunjung pun tak perlu risau jika tidak pintar berenang karena di permandian ini disediakan jasa penyewaan ban oleh warga asli setempat.

Bahkan, jika wisatawan merasa lapar ataupun dahaga, tak perlu khawatir ataupun harus pergi keluar dari tempat tersebut, karena terdapat lapak dari pelaku usaha mikro yang merupakan warga desa setempat. Mereka mengais rejeki di pinggir-pinggir permandian.

Sejumlah dagangan yang ditawarkan para pelaku usaha mikro di permandian ini berupa mi instan, aneka kue pabrik dan sejumlah makanan lainnya, termasuk jika pengunjung ingin menyeruput kopi.

Selain menikmati sejuknya air, jarang juga wisatawan datang di tempat ini hanya duduk atau sekadar berswafoto bersama orang terdekat.


Permandian Wakante

Permandian Wakante yang sudah tersohor hingga di luar Muna Barat ini berjarak sekitar 20 kilometer dari Raha, Ibu Kota Kabupaten Muna.

Kepala Desa Latugho, Amiruddin, bercerita Wakante dibuka pada tahun 1973. Saat itu lokasi tersebut masih hutan belantara.

Masyarakat datang dari kampung lama membuka lahan baru di Desa Latugho karena di tempat lama mereka kekurangan air. Desa Latugho kini dihuni sekitar 2.000 warga dari 480 lebih kepala keluarga yang mayoritas pekerjaanya petani.

Awalnya, masyarakat Desa Latugho melihat potensi Pemandian Wakante untuk dijadikan tempat wisata. Pada 2010, ada bantuan anggaran dari pemerintah bernama PNPM LMP. Lewat bantuan tersebut, dibuat talut di sekeliling Wakante.

Setelah dibuat, pemerintah daerah mulai melirik. Masuklah dana dari pemerintah untuk membuat gazebo, paving block, dan lainnya. Kemudian pada tahun 2015, Dinas Pariwisata Kabupaten Muna Barat kembali mengucurkan dana untuk membuat gazebo besar serta pengerasan jalan dari jalan poros menuju Wakante.

Pemerintah desa setempat lalu membuat jalan masuk dan jalan keluar bagi kendaraan roda dua maupun roda empat menggunakan Dana Desa pada 2018.

“Wakante ini kan ramai kalau musim tahun baru, atau hari keagamaan biasanya macet. Oleh karena itu kami buatkan jalan masuk dan keluarnya,” tutur Amiruddin kepada ANTARA.

Ada banyak potensi yang perlu dikembangkan di Wakante, di antaranya pembuatan kolam renang baru untuk anak-anak. Pihaknya akan melengkapi fasilitas berupa kolam renang yang lebih efektif karena kolam sebelumnya cukup berbahaya untuk anak-anak. Sehingga dengan demikian mereka nyaman berenang di sekitaran Wakante.

Selain kolam, pihaknya juga akan membuat flying fox karena aliran sungainya cukup panjang, serta lapangan perkelahian kuda.


Menunggangi kuda

Selain dapat merasakan sejuknya air atau pun berswafoto di sejumlah titik yang disuguhkan Permandian Wakante, para pengunjung juga dapat menguji nyali untuk menunggangi kuda.

Jasa untuk menunggangi kuda ini disediakan di permandian ini oleh sejumlah pemuda desa setempat yang telah menjadi joki. Wisatawan dapat menunggangi kuda cukup dengan membayar Rp15.000.

Tak perlu khawatir, joki kuda akan mendampingi sehingga akan terasa aman. Joki akan mendampingi dengan memegang tali kuda sembari berjalan di depan, atau ikut menunggangi kuda jika penyewa merupakan anak-anak.

Salah satu joki kuda, La Ode Muhammad Tahir yang ditemui ANTARA di sela menawarkan jasa menunggang kuda mengatakan, ia bersama sejumlah kawannya sudah menjadi joki sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama.

Pria kelahiran Desa Latugho Kecamatan Lawa, Kabupaten Muna Barat,  31 Maret 1995 ini menawarkan jasa menunggangi kuda sejak pukul 10.00 WITA hingga pukul 17.00 WITA.

Pria yang akrab disapa Tahir ini menyebut pengunjung dapat menikmati sensasi menunggangi kuda dengan waktu selama kurang lebih 10 menit. Di tangan pria yang ramah dan murah senyum ini, kuda terlihat tenang dan begitu patuh.

Menunggangi kuda mengelilingi areal permandian tidak menggunakan ukuran waktu, melainkan hanya satu kali putaran atau sekitar 5 sampai 10 menit, lengkap dengan dengan berfoto-foto.

Kuda yang ditawarkan Tahir untuk ditunggangi pengunjung merupakan kuda pamannya. Dalam sehari di momen hari libur, ia bersama rekan-rekannya bisa mengumpulkan uang dari pengunjung yang menyewa jasa menunggangi kuda kurang lebih Rp1 juta.

Seluruh uang yang didapatkan diserahkan ke pemilik kuda. Tahir mengaku uang tersebut kemudian dibagi oleh pemilik kuda ke sejumlah joki sebanyak empat orang. Imbalan yang didapat Tahir digunakan untuk belanja sehari-hari dan tak jarang juga ditabung.

Selama menjadi joki, ia terus mendampingi pengunjung jika menunggangi kudanya, baik orang dewasa ataupun anak-anak. Hal itu dilakukan Tahir sebagai bentuk layanan prima dan bentuk memberi kenyamanan kepada pengunjung.

Anak kedua dari tiga orang bersaudara ini mengaku senang menjadi joki kuda karena bagian dari budaya, dimana Kabupaten Muna Barat dikenal dengan budaya "Tarung Kuda".

Sembari mengingat-ingat, ia mengaku bisa menjadi joki sejak duduk di bangku kelas 2 SMP setelah Tahir kecil diajari oleh senior-senior yang ada di kampungnya untuk menjadi penunggang kuda yang andal.

Menurutnya, budaya "Tarung Kuda" yang telah melekat di Kabupaten Muna Barat mendorong dirinya untuk menjadi joki. Tak ada larangan dari kedua orang tuanya untuk menunggangi kuda, bahkan justru dukungan yang ia dapatkan.

Pria yang hobi bermain sepak bola ini rupanya tidak ingin menjadikan joki kuda sebagai mata pencarian utama hidupnya. Ia bercita-cita mengabdikan diri pada negara dengan menjadi seseorang dosen.

Saat ini Tahir sedang menempuh pendidikan S2 Manajemen di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) 66 Kendari, di Kota Kendari, agar bisa mewujudkan cita-cita mulianya.

Meski demikian, Tahir mengaku bahwa menjadi seorang joki akan terus ia lakoni ketika dirinya pulang kampung atau pun saat berada di tanah kelahirannya.

Baginya menjadi joki kuda merupakan bagian dari hal yang harus terus melekat di dirinya, meski tidak rutin dilakukan karena hal itu merupakan bagian dari merawat warisan budaya daerah tersebut.

"Setiap libur Idul Fitri saya pasti jadi joki, karena pasti saya di kampung terus dan momenya di situ ada," ucap Tahir, menutup perbincangan di siang itu.

Berwisata ke Kabupaten Muna Barat, Sulawesi Tenggara, jangan lewatkan mengunjungi Pemandian Wakante, salah satu objek wisata favorit di daerah itu. Selain memiliki air yang sejuk, pengunjung juga dapat menguji nyali menunggangi kuda.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023