Jakarta (ANTARA) - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan bahwa sikap kesiapsiagaan dalam menghadapi sebuah bencana, bisa terbentuk dengan baik jika masyarakat memahami betul peta persebaran tiap jenis bencana berdasarkan wilayahnya.

“Kita sudah petakan mana wilayah yang rawan banjir, mana kekeringan, mana yang gempa, mana yang gempa dan tsunami, itu berbeda sehingga ini perlu dipahamkan ke semua masyarakat,” kata Direktur Kesiapsiagaan BNPB Pangarso Suryotomo dalam Talkshow Kesiapsiagaan Bencana Ala Indonesia di Jakarta, Minggu.

Pangarso menekankan dengan karakteristik daerah yang berbeda antarsatu sama lainnya, Indonesia harus menjadi sebuah negara yang rawan akan bencana. Perbedaan itu menuntut masyarakat menghadapi jenis bencana yang berbeda-beda pula.

Berdasarkan pemetaan bencana yang dibuat BNPB, setidaknya dari 74 ribu desa yang ada di Indonesia, 47 ribu di antaranya rawan terhadap gempa, 5.744 rawan gempa dan tsunami dan 2.700 lainnya berada di kawasan gunung.

Sayangnya pemetaan bencana tersebut dinilai belum bisa dipahami secara utuh, karena masyarakat masih cenderung berperilaku panik ketika mendengar kabar yang terkait dengan kebencanaan.

“Kita itu masih suka latah, misal ada potensi tsunami di suatu daerah, itu informasinya disebarkan kemana-mana. Padahal posisi kita ada di Jakarta dan tidak mungkin tsunaminya sampai sini. Tapi ada omongan ayo kita mengungsi, ada tsunami,” katanya.

Menurutnya perilaku tersebut membuktikan bahwa masyarakat belum bisa memahami peta bencana juga karakteristik lingkungan tempat tinggalnya. Oleh karenanya, pemerintah perlu menemukan cara yang lebih masif, agar pemahaman terkait pentingnya siap dan tangguh menghadapi bencana bisa ditangkap secara jelas oleh masyarakat.

Salah satunya yakni memanfaatkan media berupa pembuatan film pendek yang dikaitkan dengan kondisi kebencanaan di Indonesia. Misalnya, pada tahun 2022 lalu Indonesia setidaknya telah mengalami 3.544 kali kejadian bencana alam, dimana 92 persennya merupakan bencana hidrometeorologi akibat perubahan iklim.

Pada narasi itu pemerintah bisa menumbuhkan pemahaman kalau bencana hidrometeorologi menyebabkan masyarakat harus menghadapi bencana berupa banjir, longsor, angin puting beliung hingga cuaca ekstrem.

Baca juga: BNPB gelar kesiapan bencana antisipasi puncak kemarau dan musim hujan

Pangarso menambahkan untuk mengubah sikap latah itu, pemerintah juga bisa bekerja sama membuat jargon atau memperkenalkan cara singkat agar siap menghadapi bencana, yang dipadukan dengan budaya keseharian masyarakat supaya lebih gampang mengerti.

“Kalau dulu kita diperkenalkannya jangan buang sampah sembarangan nanti banjir. Itu yang selalu diajarkan di sekolah, itu bisa jadi sosialisasi ringan yang bisa mengena betul di generasi kita yang akan datang,” ujarnya.

Dengan cara-cara tadi, katanya, pemerintah bisa menggerakkan semua pihak terutama generasi muda untuk ikut terlibat dan menjadi bagian dari kerja sama pentahelik pada setiap kebijakan yang dijalankan.

Upaya-upaya itu juga bisa menumbuhkan rasa kepedulian dan kesiapan dalam melindungi diri dari risiko bencana.

“Masalah iklim itu menjadi penting. Makanya kita perlu bertindak apalagi dengan adanya Hari Kesiapsiagaan Bencana, melalui sub-temanya yang mengangkat soal Tingkatkan Ketangguhan Desa, Kurangi Risiko Bencana, nanti diharapkan semua orang akan bicara siap untuk selamat, siap bicara iklim, sekolah bisa juga agama,” ujarnya.

Baca juga: Kepala BNPB pastikan kesiapan hadapi bencana jelang KTT G20

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2023