Erdogan masih memiliki kartu truf yang bisa dimainkan.
Jakarta (ANTARA) - Pada 14 Mei 2023, Turki akan menggelar pemilihan umum yang disebut-sebut bakal menentukan nasib Presiden Recep Tayyip Erdogan setelah dalam 20 tahun terakhir memerintah negara yang berada di dua benua itu.

Pemilu tahun ini bakal mempertemukan dua calon terkuat, yakni Erdogan sendiri dan Kemal Kilicdaroglu, walaupun bukan hanya dua orang ini yang menjadi calon presiden dalam pemilu Turki pekan depan itu.

Kali ini pula Erdogan dan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) menghadapi oposisi bersatu pimpinan Kemal Kilicdaroglu yang mengetuai Partai Rakyat Republik (CHP).

Suasana koalisi antipemerintah kali ini berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya di mana selalu lemah dan tak bersatu sehingga mudah dikalahkan AKP.

Baik Erdogan dengan Kilicdaroglu, maupun AKP dengan CHP, satu sama lain berbeda secara diametral, termasuk dalam ideologi, walaupun secara formal Turki masih merupakan negara sekuler.

Kalau Erdogan merupakan demagog yang aktif berbicara di depan publik dengan retorika-retorika menarik hati tetapi lebih one man show,  maka Kilicdaroglu memiliki pembawaan yang menghindari sorotan publik dan berlaku sebagai ketua yang mempersatukan bermacam kekuatan politik menjadi tim yang padu.

Jika AKP merepresentasikan sisi kanan dalam politik Turki, maka CHP membawa warna kiri dalam spektrum politiknya, kendati keduanya mengakomodasi irisan berbagai orientasi politik di Turki.

Dengan kata lain, koalisi yang dibangun Erdogan dan AKP bersama mitra-mitra politiknya membawa spektrum kanan-tengah, sedangkan Kilicdaroglu dan koalisi pimpinan CHP merepresentasikan kiri-tengah.

Lalu, jika Erdogan lebih mencirikan nasionalisme-religius, maka Kilicdaroglu berpijak pada platform politik sekuler yang dipancangkan pendiri Turki, Mustafa Kemal Ataturk.

CHP memang berakar dari warisan politik Ataturk yang penerus-penerus dan pengikut-pengikutnya disebut "Kemalis", seperti "Soekarnois" di Indonesia.

Partai ini didirikan pada 1923 dalam nama Partai Rakyat. Sampai Pemilu 1950, partai ini menjadi satu-satunya yang boleh berkuasa di Turki, sampai Ismet Inonu yang menggantikan Ataturk, mengenalkan sistem multipartai di Turki.

Pada 1960 terjadi kudeta yang menciptakan pemerintahan junta Turki. Kemudian, pada 1980, junta ini melarang CHP dan parpol-parpol lainnya. Waktu itu, Islam politik belum mencapai Turki.

CHP kemudian dihidupkan lagi pada 9 September 1992, tetapi sejak 2002 menjadi oposisi utama setelah Turki dikuasai AKP yang bercirikan Islam.


Unggul dalam jajak pendapat

AKP sendiri muncul sebagai antitesis dari kebobrokan sekularisme yang membusukkan sistem politik Turki.

Partai yang berakar dari Partai Refah itu bermetamorfosis menjadi kekuatan besar sejak Pemilu 2002 di bawah dirigen Recep Tayyip Erdogan. Partai Refah yang kemudian menjadi partai terlarang itu sendiri menjadi kekuatan politik Islam pertama Turki yang menggoyahkan kelompok kemapanan sekuler Turki.

Pada 2007, di bawah dorongan AKP, Turki menggelar referendum untuk mengubah peran dan lingkup kekuasaan presiden Turki yang tadinya seremonial, menjadi memiliki kekuasaan yang sangat besar seperti terlihat dalam sistem presidensial di mana pun.

Turki pun sejak Pemilu 2014 menjadi negara bersistem presidensial di mana presiden dipilih langsung oleh rakyat, sementara Erdogan menjadi presiden Turki pertama yang dipilih langsung oleh rakyat.

Namun sebagaimana biasa terjadi pada pemimpin yang terlalu lama berkuasa, tatanan yang tadinya demokratis perlahan menjadi otoriter setelah Erdogan dituding terlalu memusatkan kekuasaan pada dirinya.

Inilah yang selalu dikritik oposisi di Turki. Akan tetapi baru 2019, oposisi bisa menggoyang kekuasaan Erdogan dalam skala besar, setelah Ankara dan Istanbul yang menjadi basis kekuatan AKP, direbut politisi-politisi CHP pada Pilkada 2019.

Di tengah krisis ekonomi yang terjadi sampai kini dan salah urus dalam penanganan korban dan dampak gempa bumi 6 Februari 2023, posisi politik Erdogan dan AKP menjadi lebih tersudut dibandingkan dengan masa menjelang pemilu-pemilu sebelumnya.

Bahkan jajak pendapat yang digelar lembaga poling TEAM di Istanbul pekan ini, mendapatkan gambaran bahwa Kemal Kilicdaroglu mengungguli Erdogan.

Menurut jajak pendapat ini, Erdogan memperoleh 44,4 persen, sedangkan Kilicdaroglu mendapatkan 47,4 persen.

TEAM bahkan memperkirakan Erdogan akan kalah dalam selisih suara lima persen pada pemilu 14 Mei itu.

Sejumlah kalangan lainnya meyakini kedua calon presiden bakal kesulitan mencapai angka 50+1 yang jika ini terjadi, maka pemilu dilanjutkan ke putaran kedua.

Jajak pendapat itu menjadi salah satu petunjuk bahwa Erdogan menghadapi pemilu yang paling berat yang pernah diikutinya. Skenario terburuknya, Erdogan bisa terlempar dari kekuasaan.


Berubah drastis

Dari berbagai laporan media asing dan Turki, jika Erdogan terlempar dari kekuasaan, maka lanskap politik Turki bakal berubah drastis.

Perubahan besar ini tidak hanya menyangkut praktik sekularisme yang mungkin lebih pekat dibandingkan dengan masa Erdogan, walaupun Kemal Kilicdaroglu jauh-jauh hari sudah menyatakan akan merangkul semua kalangan, termasuk menjamin semua Muslim bebas menjalankan keyakinannya.
​​​​​​
Perubahan itu juga menyangkut kebijakan luar negeri Turki, mulai dari masalah keamanan Eropa sampai komitmen Turki di Timur Tengah, khususnya Suriah.

Namun demikian, siapa pun yang memenangi pemilu nantinya, agaknya akan mengubah bentuk peran Turki dalam aliansi NATO, hubungan Turki dengan Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Rusia.

Kemudian, masalah imigrasi kala Turki saat ini menampung hampir 4 juta warga Suriah yang terusir karena perang saudara, peran Turki dalam perang Ukraina, dan bagaimana menciptakan harmoni di kawasan Mediterania Timur, khususnya Siprus dan Yunani.

Kemal Kilicdaroglu sendiri, yang dijuluki "Gandhi dari Turki", menjanjikan perubahan-perubahan besar.

“Akan ada perubahan dari tadinya pemimpin otoriter yang mengatur segalanya, menjadi tatanan yang mengandalkan kerja tim, yang pasti jauh lebih demokratis,” kata Unal Cevikoz, Kepala Penasihat Kebijakan Luar Negeri Kilicdaroglu kepada laman berita Politico.

Akan tetapi Erdogan masih memiliki kartu truf yang bisa dimainkan. Salah satunya adalah mengangkat sentimen keagamaan, apalagi lawannya berasal Syiah Alevi yang jauh lebih minoritas dibandingkan kaum Muslim Sunni.

Dari total 85 juta penduduk Turki, hampir seluruhnya beragama Islam. Namun, jika dilihat dari komposisi Syiah dan Sunni, sekitar 78 persen penduduk Turki adalah Sunni, termasuk warga minoritas Kurdi, sedangkan sekitar 20 persen lainnya Syiah, terutama Alevi yang dipeluk Kemal Kilicdaroglu.

Ini aspek elektoral yang mungkin bakal dimainkan Erdogan.

Namun, apakah aspek itu akan efektif melawan isu korupsi, mismanajemen dampak gempa 6 Februari, dan lainnya, masih harus dilihat lagi.

Akan tetapi, Erdogan harus mempertimbangkan juga faktor Kurdi dalam barisan oposisi yang membuat postur kelompok oposisi terlihat lebih besar.

Dengan fakta-fakta seperti itu, Pemilu 14 Mei bisa menjadi tahap paling penting bagi Turki dalam dua dasawarsa terakhir.

Ini bisa menjadi akhir dari nasionalisme-religius dan sebaliknya babak baru sekularisme Turki, walau sekularisme yang dibawa Kilicdaroglu berbeda dari Turki masa lalu karena Kilicdaroglu sendiri melibatkan beberapa partai Islam.

Akan tetapi bisa saja pemilu kali ini menghasilkan tatanan politik yang lebih akomodatif dan pragmatis mengingat pihak-pihak yang bertarung dalam pemilu kali ini sama kuatnya sehingga kompromi menjadi keniscayaan.

editor: Achmad Zaenal M

Copyright © ANTARA 2023