Kami berharap pada 2023, volume transaksinya bisa melebihi 1 juta transaksi.
Jakarta (ANTARA) - Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Filianingsih Hendarta mendorong adanya sinergi antara otoritas dan pelaku industri dalam mengintegrasikan ekosistem ekonomi digital.

“Kami meyakini pengembangan sistem pembayaran membutuhkan dukungan dan sinergi dari otoritas serta pelaku industri untuk mengintegrasikan ekonomi digital dan ekosistem keuangan,” kata Filianingsih, di Jakarta, Selasa.

Dia mencontohkan Quick Response Code Indonesian Standard atau QRIS yang telah menjadi pemain penting dalam ekosistem pembayaran digital serta menjadi gerbang masuk bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Hal itu tercermin pada jumlah pengguna mencapai 32,41 juta per Maret 2023 dengan total mitra mencapai 25,4 juta. Dari jumlah tersebut, sekitar 92 persen di antaranya merupakan UMKM.

Selain QRIS, inovasi pembayaran digital lainnya yang juga menunjukkan dampak positif adalah BI-FAST. Filianingsih mengatakan BI-FAST mampu memangkas biaya transaksi hingga 60 persen.

Kemudian, berdasarkan data paparan Filianingsih, nilai transaksi BI-FAST per triwulan I-2023 mencapai Rp1,13 miliar dan dengan volume transaksi sekitar 408 juta. BI-FAST juga telah melibatkan 119 bank serta 4 lembaga selain bank (LBS).

“Kami berharap pada 2023, volume transaksinya bisa melebihi 1 juta transaksi,” ujar Filianingsih.

BI juga mendorong kerja sama pembayaran lintas negara guna makin memajukan ekosistem ekonomi digital dan keuangan, mengingat jaringan industri global yang luas serta perkembangan infrastruktur pembayaran antarnegara.

Sebab, BI melihat ekonomi digital dan ekosistem keuangan Indonesia dan negara-negara ASEAN memiliki potensi yang positif.

Potensi tersebut tercermin pada penandatanganan kerja sama bank sentral di wilayah ASEAN-5, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand untuk sistem pembayaran regional atau ASEAN Payment Connectivity (APC) yang dimulai sejak 2022 lalu.

Meski begitu, masih terdapat beberapa kendala terkait kerja sama tersebut, terutama terkait biaya yang mahal, akses yang terbatas, serta minimnya transparansi.

“Maka, perlu ada terobosan dan peningkatan teknologi dan regulasi dalam suatu negara serta kerja sama internasional untuk ekonomi digital yang lebih inklusif,” kata Filianingsih pula.
Baca juga: Menparekraf: Perkuat keamanan siber dukung ekonomi keuangan digital
Baca juga: BI sebut ekonomi digital dan keuangan ASEAN punya potensi positif


Pewarta: Imamatul Silfia
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2023