Jakarta, (ANTARA News) - Banyak warga Jakarta hafal nama dan letak kampung nelayan Muara Angke, namun sedikit sekali yang mengetahui jika di kawasan pesisir itu terdapat sebuah suaka margasatwa. Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) yang letaknya di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara, ini merupakan suaka margasatwa terkecil di Indonesia. Oleh pemerintah Hindia Belanda, daerah ini pada tahun 1939 ditetapkan sebagai cagar alam. Status suaka margasatwa baru diberikan oleh pemerintah RI pada tahun 1999. Perubahan status ini dipicu oleh kerusakan kawasan ini yang semakin parah, baik di dalam suaka maupun di sekitarnya. Keberadaan SMMA sangat penting, terutama untuk mengendalikan banjir yang hampir tiap tahun menyambangi ibukota. Selain sebagai pengendali banjir, suaka ini merupakan kawasan konservasi bagi burung-burung air. Luas keseluruhan suaka ini 170,6 hektare, yang terbagi atas suaka margasatwa, hutan lindung dan Taman Wisata Alam Angke-Kapuk. Sementara SMMA sendiri luasnya hanya 25 hektare. "Meski luasnya hanya 25 hektare, namun peranannya sangat penting bagi lingkungan," kata Hendra Michael Aquan, relawan dari Fauna-Flora International (FFI) beberapa waktu lalu. Mengingat pentingnya SMMA bagi perkembangan berbagai jenis burung di Pulau Jawa, maka pada tahun 2003, Birdlife International, organisasi pelestari burung, memasukkan kawasan Muara Angke sebagai daerah penting yang harus dilindungi. Letaknya yang bersebelahan dengan Kali Angke membuat kawasan ini menjadi "gerbang terakhir" pembuangan sampah bagi warga Jakarta dan sekitarnya. Kali Angke merupakan ujung dari banjir kanal barat yang mengalirkan air dan aneka jenis limbah, baik padat maupun cair dari Kali Ciliwung. "Bayangkan, setiap hari kami mendapat limpahan 1.400 meter kubik sampah, namun hanya 40 meter kubik saja yang dapat diambil oleh Suku Dinas Kebersihan DKI, sisa yang tidak terangkut itu akhirnya teronggok menjadi 'spesies baru'" ujar Hendra. Ia menambahkan, sampah rumah tangga kebanyakan berasal dari wilayah selatan Jakarta yang dibawa Sungai Ciliwung, sedangkan limbah industri dari Kali Angke. Limbah sampah rumah tangga, seperti styrofoam, kemasan plastik, kayu dan lainnya yang masuk ke kawasan SMMA ini mengancam kelangsungan hidup tanaman bakau, karena akan menutup akar pernafasan serta menghambat pertumbuhannya. Keberadaan sampah juga mengurangi nilai estetika dari hutan bakau. "Macam-macam sampahnya, pernah lemari es dua pintu dan kusen-kusen rumah ikut hanyut sampai sini," katanya lagi sambil tersenyum. Perilaku nelayan yang membuang bangkai-bangkai kapal dan oli bekas juga berpotensi merusak kawasan suaka ini. Di Atas Ambang Batas Berdasarkan hasil pemantauan kualitas air Kali Angke oleh BPLHD DKI Jakarta tahun 2005, ada beberapa indikator pencemaran limbah cair yang telah melebihi ambang batas, seperti phospat yang naik 34% dari ambang batas yang 0,5mg/L menjadi 0,67 mg/L. Limbah jenis surfaktan meningkat drastis 154% dari ambang batas 0,5 mg/L menjadi 1,27 mg/L. Sedangkan untuk beberapa parameter pencemar lainnya seperti mangan, seng, sulfat, minyak dan lemak masih di bawah ambang batas, namun perlu diwaspadai keberadaannya. "Kami telah bekerjasama dengan pihak Sudin Kebersihan DKI Jakarta dengan jalan memberikan pengertian kepada masyarakat yang berdiam di sepanjang Kali Angke untuk terbiasa hidup bersih dengan tidak membuang sampah ke kali," ujar Hendra, lajang kelahiran Yogyakarta 23 tahun silam ini. Di samping itu, katanya lagi, FFI juga sudah memasang patok-patok bambu di sepanjang SMMA yang bersinggungan langsung dengan Kali Angke. Tujuannya agar sampah-sampah tidak masuk ke dalam kawasan suaka. Hendra yang telah lima bulan memantau habitat di SMMA menjelaskan bahwa hutan bakau di SMMA perlu dijaga kelestariannya karena berperan sangat penting dalam pemeliharaan ekosistem pantai. Hutan bakau mampu mengurangi kerusakan akibat angin kencang dari laut, memelihara pantai dari gerusan ombak dan menjadi habitat beraneka raga satwa seperti burung, primata dan tempat memijah berbagai jenis ikan, katanya menambahkan. "Sekarang fokus kami adalah bagaimana mengendalikan sampah-sampah yang tiap hari datang dari Jakarta, sebab kalau dibiarkan 'melting pot' ini akan mengganggu ekosistem di sini," ujar Hendra. Menurut dia, jalan terbaik adalah memelihara daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung dari hulu hingga hilir guna menyelamatkan kawasan Muara Angke dari kehancuran. "Memang diperlukan kesabaran. Karena kita harus memberikan pengertian mengenai pentingnya pemeliharaan lingkungan kepada para penduduk yang tinggal di sepanjang aliran sungai itu," katanya. Karena alasan itulah, Hendra bersama relawan lainnya kerap memberikan penyuluhan tentang lingkungan di berbagai sekolah. "Jadi kalau tidak ada di sini (di SMMA, red), mungkin saya sedang ada di sekolah-sekolah," tuturnya. Terancam Spesies Introduksi Kondisi kawasan hijau di utara Jakarta, khususnya SMMA, kini mengalami tekanan berat akibat kehadiran spesies introduksi baru seperti eceng gondok (eicchornia crassipes), kadal (callotes emma) dan keong murbai (pomacea sp). Ini disebabkan oleh sirkulasi air laut yang kurang baik sehingga gulma dan spesies introduksi dapat tumbuh subur. Meskipun masih dalam jumlah kecil, spesies yang bukan habitat asli dari kawasan itu dikhawatirkan akan menurunkan kualitas genetis satwa-satwa yang hidup di dalamnya. "Contoh lainnya, masyarakat awam sering melepaskan satwa-satwa peliharaan mereka seperti kucing, burung dan lainnya ke kawasan ini. Secara ekologi hewan-hewan yang dilepas itu bukanlah satwa yang dapat hidup di kawasan ini, sehingga berpotensi memutus rantai ekosistem di sini," ujar Hendra lagi. Sebetulnya SMMA masih memiliki komponen biotik dan abiotik yang cukup lengkap yang apabila dikelola secara optimal dapat dijadikan sarana rekreasi alternatif masyarakat Jakarta dan laboratorium alam bagi pelajar dan mahasiswa. Saat ini SMMA dihuni tidak kurang dari 91 jenis burung: 28 jenis burung air dan 63 jenis burung hutan. Beberapa di antaranya merupakan burung khas hutan bakau, seperti sikatan bakau (cyornis rufigastra), dan prenjak jawa (prinia familiaris). "Di sini juga ada burung endemik Pulau Jawa macam cerek jawa, dan bubut jawa," katanya lagi. Selain jenis burung, di SMMA dapat pula dijumpai monyet ekor panjang (macaca fascicularis). Primata ini sangat membantu penyebaran tumbuhan hutan karena biji-biji yang tak dapat mereka cerna dikeluarkan kembali bersama feses, sehingga secara tidak langsung mereka telah menanam bibit pohon yang baru. Sebagai kota metropolitan, Jakarta ternyata masih mempunyai lahan hijau bagi perkembangan habitat berbagai jenis satwa dan tumbuhan, namun masalahnya apakah warga Jakarta cukup peduli terhadap suaka ini? "Cobalah mulai sekarang, biasakan hidup sehat dengan tidak buang sampah ke sungai. Masih banyak cara lain untuk menyelamatkan sungai, yang paling mudah ya.. itu tadi," kata Hendra. Hendra dan warga lain yang peduli terhadap kelestarian alam patut khawatir, sebab suaka satu-satunya yang ada di Jakarta itu kondisinya kini sangat memprihatinkan. Sampah menjadi pemandangan biasa dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kawasan pesisir Jakarta. Penanganan dan sosialisasi berkelanjutan oleh pihak-pihak terkait tentang masalah ini merupakan langkah tepat guna menjaga kelangsungan hidup fauna dan flora di sana, karena bukan tak mungkin kawasan ini akan ditenggelamkan oleh "spesies baru" yang bernama sampah.(*)

Oleh Oleh Dasri Murtiyoso
Copyright © ANTARA 2006