... Itu di Jerman. Di Jakarta, banjir semakin rajin menyambangi kota berpenduduk sekitar 10 juta jiwa... "
"Banjir seperti ini pernah terjadi di Koln, 10 tahun lalu. Waktu itu Sungai Rheine meluap habis-habisan…," kata Andreas Helmholt, seorang ekspatriat Jerman. Dia membaur dengan ratusan orang menonton dan menyoraki banjir di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis.

Helmholt berdiri di satu bata penyusun trotoar jalan, sehingga lebih tinggi dari jalan sekitar 50 centimeter dari bahu jalan. Begitu satu truk dari Batalion Zeni Konstruksi 14 lewat, "ombak" yang tercipta menyapu kakinya, yang terbalut sepatu kulit. "He… he… he… Memang begitu, toch saya tidak kerja hari ini," katanya.

Kantornya, satu perusahaan importir bijih plastik dari Indonesia, berada di Gedung Jaya. Dia ke kantor, tapi banyak sekali karyawan yang tidak masuk kantor. "Jadi percuma saja saya ke kantor, saya mengamati banjir ini. Selama di Jakarta, saya menginap di Hotel Sari Pacific," katanya.

Sungai Rheine merupakan sungai terpanjang di Eropa, melintasi belasan negara. Dengan penataan yang "super hati-hati" dan sangat terpadu antar negara di hulu hingga di hilir, banjir juga bisa terjadi. "Waktu itu, pemerintah Jerman membangun tanggul panjang, mengetatkan program pembersihan sungai dan pompa," katanya.

Alhasil, banjir tidak pernah terjadi lagi. Paling-paling genangan biasa-biasa saja.

Itu di Jerman. Di Jakarta, banjir semakin rajin menyambangi kota berpenduduk sekitar 10 juta jiwa itu. Jangankan kawasan Cawang dan Bukit Duri, Jakarta Timur, yang memang langganan banjir. Istana Merdeka --lambang pemerintahan Indonesia-- juga banjir hingga ke koridor menuju Kantor Kepresidenan di mana Presiden Susilo Yudhoyono mengatur Indonesia.

Yang cukup tragis, Kamis siang ini, Presiden Argentina Christina de Kircher, melakukan kunjungan kenegaraan ke Istana Merdeka. Banjir di halaman utama istana itu, di mana pasukan kehormatan biasa dijajarkan, sedikit mengubah acara resmi kenegaraan itu.

Jalan MH Thamrin, Jalan Agus Salim, Jalan Kebon Sirih, Jalan Kebon Kacang, dan beberapa bagian lain di kawasan itu, air sampai setinggi leher orang dewasa. Listrik di tiang-tiang penerangan jalan dan lampu pengatur lalu-lintas, dimatikan. Banyak warga yang tumpah ruah ke jalan-jalan, menonton banjir.

Kantor-kantor banyak yang tidak beroperasi sepenuhnya seperti biasa. Curah hujan sangat tinggi, di sisi lain saluran air kurang besar atau malah tersumbat karena sampah-sampah buangan masyarakat. Lihat yang terjadi di Pintu Air Manggarai, Jakarta Selatan, sampah sampai tiga truk besar setiap delapan jam karena petugas ditugaskan tiga gilir sehari.

Gubernur DKI Jaya, Joko Widodo, sendiri yang turun melihat kesiapsiagaan para petugas di pintu air pengendali banjir itu. Jika pintu itu "jebol" maka Jakarta Pusat dan seterusnya bisa banjir besar. Banjir kali ini tidak bisa dikatakan semata-mata karena sampah-sampah itu, banyak pemengaruhnya.

Dengan penduduk 10 juta jiwa yang berasal dari berbagai provinsi di Indonesia, Jakarta menjadi sangat majemuk dari berbagai sisi. Yang juga jadi masalah dari kenyataan itu adalah rasa memiliki dan "melindungi" Jakarta. Pada praktiknya, masih banyak orang lebih suka menjadikan sungai sebagai tempat sampah raksasa.

Mulai dari sekedar bungkus kacang atau puntung rokok, hingga kasur ukuran besar, lemari kayu bekas, hingga potongan pohon yang ditebang dibuang di sungai! "Bagaimana tidak banjir, Bang. Orang buang sampah sembarangan. Giliran banjir begini menyalahkan pihak lain," kata Burhanuddin, warga Jalan Kebon Kacang, yang juga menonton banjir.

Rumahnya sedikit tergenang banjir, hanya semata kaki saja. Dia mengaku selalu berusaha buang sampah rumah tangga pada tempatnya. "Tapi yang lain tidak mau, buang sampah di got-got. Mulai dari warung sampai rumah makan pinggir jalan," katanya. (*)

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2013