Jayapura, (ANTARA News) - Pengelola Yayasan Dian Harapan Yotefa Papua kewalahan menangani pengrusakan ratusan hektar hutan bakau (mangrove-Red) di Teluk Yotefa, Kota Jayapura, yang semakin parah disertai pembuangan limbah yang dikhawatirkan membawa bencana alam bagi penduduk di kawasan itu. Ketua Umum Yayasan Dian Harapan Yotefa Papua, Ny.Salomina Mereauje/Bonay mengatakan kepada ANTARA di Jayapura, Kamis (8/6) kantor lembaga yang dipimpinnya berada di tepian hutan bakau di Entrop, Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, nampak hamparan hutan bakau mulai semakin habis dibabat pemerintah, swasta dan perorangan untuk mendirikan bangunan. Dulu kawasan Yotefa memiliki hutan bakau sebagai tempat berkembang-biaknya biota laut dan sungai seperti beraneka ikan, udang, kepiting dan biota laut dan sungai lainnya menjadi sumber pencarian nafkah penduduk Kampung Tobati dan Kampung Enggros di Teluk Yotefa, namun belakangan ini tidak lagi ditemukan kekayaan alam itu, aku Ny.Salomina. Hutan bakau di Teluk Yotefa mulai ditebas sejak 1986 lokasi pasar Entrop dibuka. Setelah pembangunan pasar dan terminal Entrop, kawasan itu kini berjejal gedung-gedung mewah, pusat perbelanjaan, gudang, bar dan diskotik serta hotel, rumah makan dan restoran. Pemerintah Kota dan Pemprov Papua membuka jalan membedah hutan bakau menuju Tanjung Hamadi yang direncanakan dibangun jembatan bertaraf intenasional menghubungkan Jayapura ke Koya, Distrik Muara Tami yang berbatasan dengan Papua Nugini (PNG). Bahkan belakangan ini setiap hari ratusan truk menimbun batu dan tanah masuk ke lokasi sisa hutan bakau yang mengapit Kampung Tobati dan Kampung Enggros. Pengrusakan hutan bakau di kawasan wisata Teluk Yotefa ini semakin parah dan yayasan tidak bisa berbuat banyak. Ia mengimbau pemerintah dan masyarakat agar menjaga sisa hutan bakau ini karena bila tidak cepat ditangani, akan membawa dampak di kemudia hari. Juga peluang terjadi luapan air laut Samudera Pasifik dari pantai Wisata Hamadi yang berdekatan dengan Teluk Yotefa. Jelas, peluang korban jiwa manusia dan harta benda pun sangat terbuka lebar, ujar Salomina. Salomina mengatakan tidak hanya hutan bakau yang habis ditebas, melainkan fauna dan flora di dalam kawasan Taman Wisata Teluk Yotefa pun sudah punah. Punah, katanya, disebabkan selain penjarahan fauna dan flora juga diakibatkan pembangunan pemukiman penduduk dan perambahan hutan untuk pertanian oleh kelompok masyarakat asal Pegunungan Tengah Papua seperti Jayawijaya dan Paniai serta masyarakat suku Buton, Sulawesi Tenggara. Padahal Taman Wisata Teluk Yotefa ditetapkan Menteri Pertanian RI tahun 1982, termasuk hutan bakau di kawasan Entrrop yang sudah habis ditebas demi pembangunan. "Sekarang tidak ditemukakan lagi burung Cenderawasih, Kus-Kus berkantong, tanaman angresk bernilai ekonomis tinggi. Bialola, ikan dan udang serta biota laut dan sungai lainnya pun sirna," ujar Salomina. Ny.Salomina juga menyatakan prihatin dengan kondisi masyarakat di Kampung Tobati dan Kampung Enggros karena terancam terserang berbagai penyakit akibat pembuangan limbah dari Pasar Entrop dan Pasar Yotefa yang membedah di dalam kawasan Taman Wisata Teluk Yotefa. Para nelayan mengail ikan, tetapi yang terkena kail adalah plastik, padahal Teluk Yotefa ini menjadi sumber nafkah hidup masyarakat Tobati dan Enggros yang merupakan penduduk asli Kota Jayapura, tambah Salomina. Ny.Salomina mengatakan telah mengusulkan dana penanganan masalah lingkungan, kesehatan, pendidikan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan kepada Pemerintah Kota Jayapura, namun sampai saat ini, proposal pengusulan itu belum ditanggapi Walikota Drs.MR.Kambu,MSi dan Wakilnya Hi.Sujarwo,BE. Hutan bakau Teluk Yotefa adalah hutan kedua setelah Kabupaten Waropen di bagian Pantai Utara (Pantura) Papua. Hutan bakau terluas dan diproyeksikan menjadi paruh dunia berada di kawasan Selatan Papua mulai terbentang dari Manokwari, Sorong, Sorong Selatan, Bintuni, Fakfak, Kaimana, Asmat, Mappi dan Kabupaten Merauke hingga Port Moresby, ibukota negara PNG. Hutan bakau di bagian selatan itu juga kini terancam punah akibat penebangan hutan oleh perusahaan pemegang HPH dan sebagian hutan bakau sudah mulai kering akibat pembuangan bahan kimia beracun penangkapan ikan serta pemanfaatan kayu bakar para penduduk lokal.(*)

Copyright © ANTARA 2006