Dengan segala hormat, faktanya adalah bahwa empat warga kita meninggal,"
Washington (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton, Rabu terpaksa harus membela diri soal bagaimana ia menangani serangan 11 September yang dialami konsulat AS di Benghazi, Libya, dan membantah pihaknya memberikan informasi menyesatkan kepada rakyat Amerika.

Serangan di Benghazi oleh gerilyawan bersenjata yang menewaskan Duta Besar Christopher Stevens dan tiga warga negara Amerika lainnya itu bisa menodai peninggalan Hillary sebagai menteri luar negeri serta akan terus membayanginya jika ia memutuskan untuk maju dalam pencalonan presiden AS tahun 2016.

Dengan penuh emosi dan berbicara secara menyala-nyala, Hillary pada suatu saat dalam enam jam sidang di Kongres itu tercekat ketika ia berbicara tentang upaya menenangkan keluarga para korban Benghazi.

Ia juga menjadi marah ketika seorang anggota Kongres asal Partai Republik menuduh pemerintahan Obama telah menyesatkan rakyat Amerika tentang apakah serangan tersebut berawal dari unjuk rasa.

"Dengan segala hormat, faktanya adalah bahwa empat warga kita meninggal," katanya dengan nada tinggi ketika memberikan kesaksian dalam sidang Komite Hubungan Luar Negeri Senat.

Ia akhirnya muncul di sidang Komite hari Rabu itu setelah tertunda lebih dari satu bulan karena sakit.

"Apakah itu karena unjuk rasa, atau apakah karena ada orang-orang yang sedang berjalan-jalan pada suatu malam dan memutuskan mereka akan membunuh beberapa orang Amerika? Apa bedanya?" kata Hillary dengan nada tajam.

"Tugas kita adalah mencari tahu apa yang terjadi dan melakukan segala cara untuk mencegah hal seperti ini terjadi lagi."

Dalam sidang Senat pagi hari dan di Dewan Perwakilan Rakyat siang hari, kubu Republik dan Demokrat saling melempar tudingan terhadap satu dengan lainnya.

Kubu Republik menuduh departemen luar negeri yang dipimpin Hillary telah salah urus sementara Demokrat melakukan pembelaan terhadap Hillary.

Namun, informasi baru yang hanya sedikit soal insiden Benghazi dan tanggapan pemerintah terhadap insiden insiden tersebut menjadi pembahasan panjang.

Hillary mengatakan saat itu setidaknya ada 20 pos diplomatik AS lainnya yang berada di bawah ancaman keamanan serius.

Ia mengindikasikan insiden Benghazi sebagai bagian dari sejarah panjang kekerasan serta dampak dari ketidakstabilan sejak gelombang revolusi --yang disebut dengan Arab Spring dimulai tahun 2011-- menjatuhkan para penguasa di Tunisia, Mesir, Libya dan Yaman., demikian Reuters.
(T008/H-AK)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013