Jakarta (ANTARA) - Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia yang juga mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim menilai desain pertahanan udara di Indonesia harus menyeluruh (compact) dan mengadopsi teknologi-teknologi mutakhir (high technology/hi-tech).

Alasannya, dia menjelaskan karakter ancaman serangan udara saat ini berkembang dan telah mengadopsi teknologi seperti low orbit satellite (LEO) dan drone (pesawat nirawak).

"Penerbangan-penerbangan liar, sekarang tidak perlu lagi pesawat. Pengintaian itu sudah sangat mudah dilakukan. Dengan satelit? No! Sekarang dengan low orbit satellite. Itu sebabnya desain dari pertahanan udara harus compact dan harus hi-tech,” kata Chappy Hakim saat menjawab pertanyaan dalam acara seminar yang digelar Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) di Jakarta, Kamis.

Oleh karena itu, jika Indonesia tertinggal mengikuti kemajuan teknologi yang berpengaruh pada perkembangan karakter ancaman yang ada, maka aparatur yang menjaga keamanan dan kedaulatan NKRI terutama di wilayah udara akan mengalami kesulitan.

Baca juga: Chappy Hakim soroti kerawanan IKN di perairan dan ruang udara

Baca juga: Chappy Hakim ingatkan pentingnya dunia siber terkait keamanan negara


"Benar bahwa hanud (pertahanan udara) titik mungkin sudah tidak memadai lagi, karena radius dari hanud titik itu sudah dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, kemampuan drone, kemampuan teknologi di cyber war yang telah mengabaikan semua hal-hal yang konvensional," tutur mantan Kepala Staf TNI AU itu.

Dalam kesempatan yang sama, dia menegaskan kemajuan teknologi memengaruhi kemampuan militer suatu negara untuk mendeteksi, mengidentifikasi, menghalau (intercept), dan menghancurkan (destruct) ancaman/serangan musuh. Empat poin itu merupakan prinsip utama dari pertahanan ruang udara (air defense).

"Kalau kita bicara tentang cyber, maka kita bicara tentang drone. Kalau kita bicara tentang drone, yang sekarang ini sudah bisa mendekati kemampuan pesawat tempur, maka kita bisa menyadari bahwa sampai sekarang, 5–10 tahun belakangan ini kita tidak mendengar lagi desain pesawat tempur yang baru. 20–30 tahun yang lalu kita dengar ada Raptor, F-35, mengapa, karena mereka berpindah ke drone. Mengapa? Karena sudah masuk cyber war. Dalam konteks ini, secara teknis peran deteksi itu menjadi dominan," ujar Chappy Hakim.

Kemampuan mendeteksi ancaman, Chappy menambahkan, kemudian menjadi hal paling utama dalam memperkuat pertahanan udara, yang mana itu perlu didukung dengan adopsi teknologi-teknologi yang mutakhir.

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023