Jakarta (ANTARA) - Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Mohammad Syahril mengatakan pihaknya berharap organisasi profesi (OP) dan pihak swasta dapat bekerja sama untuk menghadirkan pelatihan deteksi dini PPOK bagi para tenaga kesehatan yang bertugas di fasilitas kesehatan primer.

Hal itu disampaikan Syahril saat menghadiri acara bincang-bincang tentang penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) kolaborasi antara Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dan GSK Indonesia.

"Ayo, dong, (adakan) pelatihan (deteksi PPOK) seluruh Indonesia untuk semua Puskesmas yang memang mempunyai tanggung jawab untuk skrining karena nggak gampang (untuk melakukan diagnosis PPOK)," kata Syahril di Jakarta, Senin.

Pemerintah melalui Kemenkes telah menjamin pembiayaan gratis untuk skrining 14 jenis penyakit di Puskesmas, salah satunya termasuk skrining PPOK. Ini masuk dalam skema Jaminan Kesehatan Nasiona (JKN) sebagaimana yang diamanahkan dalam Permenkes No. 3 Tahun 2023.

Meskipun spirometer yang menjadi alat deteksi dini PPOK telah tersedia di Puskesmas, Syahril mengingatkan bahwa yang tak kalah penting yaitu pentingnya meningkatkan kapabilitas tenaga kesehatan yang melakukan deteksi dini.

"Jadi jangan sampai skrining ini tidak dapat dilakukan gara-gara tidak profesionalnya atau tidak adanya tenaga (tenaga kesehatan yang memadai)," kata dia.

Baca juga: Mengenal penyakit paru obstruktif kronis

Syahril mengingatkan bahwa PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati. Sayangnya, sebagian besar pasien tidak menyadari gejalanya, belum terdiagnosis dengan tepat, atau belum mendapatkan pengobatan yang optimal. Oleh sebab itu, diperlukan deteksi PPOK lebih dini bagi masyarakat serta optimalisasi terapi untuk mencegah eksaserbasi dan rawat inap.

"Upaya ini dapat dilakukan melalui kegiatan skrining dan diagnosis PPOK secara terintegrasi. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI berkomitmen untuk memperluas akses skrining dan pembaruan edukasi PPOK bagi nakes dan awam," ujar dia.

Sementara itu, Guru Besar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UI Prof. dr. Wiwien Heru Wiyono, PhD, Sp.P(K) mengatakan bahwa diagnosis PPOK yang belum tepat dengan adanya keterbatasan masih menjadi isu global hingga saat ini.

Baca juga: Dokter: PPOK tidak bisa sembuh gejala bisa dikurangi dengan terapi

"Sudah menjadi isu global bahwa PPOK ini masih banyak yang belum mendiagnosis dengan benar dengan keterbatasan. Pertama, ya, juga dokternya. Kemudian juga sarananya. Kenapa? Karena memang standar diagnosisnya itu membutuhkan alat, spirometer," ujar dia.

Wiwien berharap ketersediaan spirometer untuk diagnosis PPOK memang betul-betul tersebar di seluruh Puskesmas di Indonesia. Jika belum tersedia, metode diagnosis dengan kuisioner pun dapat menjadi alternatif sementara yang bisa dimanfaatkan oleh tenaga kesehatan dengan hasil yang dapat dipertanggungjawabkan.

"Kami mengharapkan kerja sama antara pemerintah kemudian profesi, kemudian stakeholder yang lain untuk sama-sama kita meningkatkan sarana-prasarana ini sehingga diagnosis itu bisa dilakukan sedini mungkin dan secepat mungkin," kata Wiwien.

Baca juga: PPOK dan kanker paru bisa dicegah dengan berhenti merokok

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2023