Jakarta (ANTARA) - Dokter dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dr. Triya Damayanti, Ph.D, Sp.P(K) mengingatkan bahwa penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderita.

"Yang penting itu adalah kualitas hidupnya. Kualitas hidupnya jadi sangat terganggu. Dia tergantung pada orang akhirnya, atau tergantung pada penggunaan oksigen kalau yang sudah makin berat," kata dokter yang tergabung dalam Kelompok Kerja Asma dan PPOK PDPI itu di Jakarta, Senin. 

PPOK merupakan penyakit pada paru-paru yang terjadi dalam jangka panjang. Penyakit ini menghalangi aliran udara dari dalam paru sehingga akan mengalami keluhan sesak napas. Berbeda dengan asma, Triya mengatakan gejala sesak napas pada PPOK bersifat terus-menerus. 

Triya mencontohkan, penderita PPOK biasanya tidak mampu menyelesaikan pekerjaan fisik yang membutuhkan tenaga atau gerak otot seperti pada orang normal. Hal ini akan memperburuk dan mengganggu aktivitas kehidupannya sehari-hari.

"Kalau pada PPOK itu sesak napasnya makin lama makin memberat, gradual, dan itu progresif. Yang tadinya bisa jalan, katakanlah 1 kilometer terus makin lama 100 meter saja sudah nggak kuat. Sesak, berjalannya lebih lambat sehingga dalam melakukan aktivitas sehari-hari menjadi terganggu," ujar dia. 

Baca juga: OP-swasta diharapkan hadirkan pelatihan deteksi dini PPOK untuk nakes

Menurut penelitian Global Burden Disease pada 2022, papar Triya, penyakit PPOK di Indonesia menduduki peringkat kesembilan untuk estimasi nilai years of life lost (YLL) atau jumlah tahun yang hilang akibat PPOK dari total usia harapan hidup.

PPOK kerap ditemukan pada orang berusia di atas 40 tahun dengan faktor risiko utama merokok dan pajanan polusi udara dari lingkungan sekitar. Yang disayangkan, ujar Triya, usia penderita PPOK rata-rata masih dapat dikatakan usia yang produktif.

Sebelum mendapatkan diagnosis, Triya mengatakan penderita biasanya belum menyadari bahwa kemunculan gejala seperti batuk, sesak napas, dan produksi dahak sebetulnya terkait dengan PPOK. Oleh sebab itu, dia mengingatkan pentingnya untuk tidak abai terhadap gejala tersebut dan segera memeriksakan diri di fasilitas kesehatan primer.

"Pasien mungkin meremehkan gejala keparahannya. Seringkali menganggap, 'Oh, ini mungkin karena hubungannya dengan usia'. Dan juga tidak meminta pertolongan medis secara langsung," ujar Triya.

Baca juga: Alasan PPOK bisa munculkan sesak

Dengan pengobatan yang dilakukan lebih awal, diharapkan eksaserbasi atau perburukan pada penderita dapat dicegah. Apabila seseorang sudah didiagnosis menderita PPOK dan mengalami eksaserbasi, ujar Triya, maka fungsi paru-parunya tidak akan sama lagi seperti sedia kala. 

Pada beberapa kasus, penderita PPOK masih mengalami gejala sesak napas walaupun sudah diresepkan pengobatan. Kondisi ini dapat berisiko memperburuk penderita yang sudah mengalami eksaserbasi sebelumnya.

Hal tersebut masih menjadi salah satu tantangan dalam penatalaksanaan bagi para dokter. Meski demikian, Triya tetap menekankan pentingnya pasien untuk mematuhi pengobatan atau terapi yang diberikan oleh dokter .

"Inilah yang harus kita (dokter) lakukan bagaimana pencegahan jangan sampai si pasien PPOK mengalami eksaserbasi," kata Triya.

Baca juga: Dokter: Perokok sangat rentan terkena penyakit mematikan ketiga dunia

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2023