Jakarta (ANTARA) - Dokter dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dr. Triya Damayanti, Ph.D, Sp.P(K) mengatakan kondisi penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) memiliki potensi untuk dapat berubah menjadi perburukan gejala atau eksaserbasi.

"Gejalanya bisa semakin memburuk atau progresif secara perlahan. Ada suatu masa ketika pasien PPOK menjadi eksaserbasi, jadi kayak seperti serangan, penambahan gejala dari yang biasanya," kata Triya saat media briefing di Jakarta, Senin.

Pada kondisi eksaserbasi, imbuh dia, maka penderita akan mengalami sesak napas yang meningkat, produksi dahak yang meningkat, serta laju napas dan nadi menjadi lebih cepat.

Guru Besar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UI Prof. dr. Wiwien Heru Wiyono, PhD, Sp.P(K) mengatakan bahwa kondisi eksaserbasi mempercepat penurunan fungsi paru. Hal ini menjadi ciri utama perburukan PPOK.

Baca juga: Mengenal penyakit paru obstruktif kronis

Eksaserbasi PPOK juga dapat mengakibatkan berkurangnya aktivitas fisik, kualitas hidup yang lebih buruk, serta peningkatan risiko kematian pada kasus yang lebih berat. 

"Setiap kali eksaserbasi PPOK terjadi, mungkin meninggalkan kerusakan paru permanen dan ireversibel sehingga lebih sulit bagi pasien untuk bernapas dan meningkatkan perkembangan gejala yang lebih buruk ke depannya," kata Wiwien.

Senada dengan Wiwien, Triya menambahkan eksaserbasi PPOK menyebabkan fungsi paru yang tidak lagi sama seperti kondisi normal. Mengingat bahaya yang ditimbulkan, maka salah satu tujuan dokter spesialis paru mengobati PPOK yaitu menghindari jangan sampai penderita mengalami eksaserbasi.

Untuk mencegah perburukan dan eksaserbasi serta mencapai hasil pengobatan PPOK sesuai yang diharapkan, kata Triya, maka diperlukan kesadaran bersama untuk memahami sifat dan perjalanan PPOK, juga untuk mengawali pengobatan PPOK yang tepat lebih dini.

Baca juga: PPOK berdampak pada penurunan kualitas hidup penderita

"Ketika seorang pasien datang, kemudian kita (dokter) diagnosis, kita berikan obat yang sesuai phenotype-nya. Jadi, sifat-sifat yang paling menonjol, dominan dari si pasien. Karena pasien PPOK A dan pasien PPOK B mungkin berbeda-beda karakteristiknya," kata Triya. 

Wiwien juga menekankan pentingnya dokter spesialis paru untuk mendiagnosis PPOK berdasarkan phenotype masing-masing pasien sehingga tepat sasaran dalam memberikan pengobatan. Diharapkan upaya ini dapat menekan angka kematian pada PPOK.

Menurut Wiwien, pemberian terapi oksigen menjadi langkah pertolongan pertama yang harus dilakukan pada eksaserbasi PPOK saat penderita mengeluhkan sesak napas. 

Pasien juga akan diberikan obat pelega atau bronkodilator dalam bentuk nebulizer. Di samping itu, pemberian obat antiradang juga dimungkinkan di samping obat pelega.

"Kita lihat responsnya. Kalau dia membaik, maka mungkin kita pulangkan pasiennya. Tapi kalau tidak membaik, kita perlu rawat. Bahkan yang berat kita mesti rawat di ICU," kata Wiwien mengakhiri penjelasannya.

Baca juga: OP-swasta diharapkan hadirkan pelatihan deteksi dini PPOK untuk nakes
 

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2023