Cisarua, Bogor, (ANTARA News) - Ditengah-tengah ancaman kepunahan burung Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) atau populer dikenal dengan "Curik Bali", Lembaga Konservasi "ex-situ" Taman Safari Indonesia (TSI) Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Jabar) untuk pertama kalinya berhasil mengembangbiakkan satwa endemik tersebut. "Untuk pertama kali, TSI Cisarua berhasil mengembangbiakkan Curik Bali yang berada di `exhibit` (kandang pamer)," kata jurubicara TSI Cisarua, Nur Syamsiah kepada ANTARA di Bogor, Senin (12/6). Curik Bali adalah burung endemik Indonesia yang berasal dari daerah Bali Barat. Namun ironisnya, menurut survei tahun 2005, populasi burung ini di habitat aslinya diperkirakan tinggal lima ekor. Keberhasilan TSI Cisarua untuk pertama kali mengembangbiakkan Curik Bali itu, katanya, terjadi ketika seekor Curik Bali menetas pada 8 Mei 2006 setelah dierami selama 14 hari. Ia menjelaskan, induk betina dan induk jantan juga merupakan hasil dari pengembangbiakan di Pusat Penangkaran Burung TSI. Menurut Nur syamsiah, pada saat pengawasan terlihat induk betina bertelur 3 (tiga) butir. Namun seminggu kemudian 2 (dua) dari 3 (tiga) telur kecil yang berwarna hijau terlihat pecah. Pada minggu kedua induk betina lebih sering berada dalam sarangnya sedangkan si jantan terlihat selalu keluar masuk sarang sambil membawa makanan. "Saat ini, anakan Curik Bali ini sudah keluar dari sarangnya walaupun belum aktif seperti kedua induknya," katanya. Departemen Kehutanan memprakirakan, jumlah curik Bali di habitat aslinya (in situ), yakni di Taman Nasional Bali Barat (TNBB), hingga akhir tahun 2005 setidaknya bisa mencapai 150 ekor dari jumlahnya sekarang yang belasan ekor. Namun, survei yang melibatkan peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan para pecinta burung, termasuk Forum Konservasi Satwaliar Indonesia (FOKSI), Januari 2005, hanya menemukan lima ekor, dan itu pun hanya satu curik yang ditemukan tanpa cincin melingkar di pergelangan kakinya. Tanpa adanya penanda (cincin) itu, maka diduga hanya seekor yang benar-benar tumbuh di habitat aslinya, dan selebihnya adalah lepasan setelah ditangkarkan. Koordinator Umum FOKSI, Tony Sumampau --yang juga Ketua Asosiasi Pelestari Curik Bali (APCB)--dalam satu kesempatan menyatakan bahwa jumlah curik Bali di luar habitat aslinya (ex situ) diprakirakan sekitar 700 ekor, yang tersebar di kebun-kebun binatang, penangkaran, penghobi, dan lembaga konservasi. APCB merupakan asosiasi yang beranggotakan pemerhati, penggemar, pakar, pelestari dan pecinta curik Bali, yang diresmikan oleh Menteri Kehutanan (Menhut) MS Kaban, di paruh akhir Agustus 2005. Pembentukan asosiasi tersebut berawal dari keprihatinan nasib kritis curik Bali di habitat aslinya yakni Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Atas kondisi itu, FOKSI yang sebagian besar anggotanya adalah wartawan dengan spesifikasi lingkungan hidup, bekerjasama dengan "Yokohama Research Center" Jepang, menyelenggarakan lokakarya curik Bali pada Desember 2004 lalu di Bogor, Jawa Barat. "Hasil lokakarya itulah yang kemudian merekomendasikan untuk membentuk suatu konsorsium untuk curik Bali," katanya. Salah satu yang mengancam punahnya curik Bali adalah perburuan atas satwa endemik itu, karena harganya mencapai Rp 20 juta per ekor, dan malahan bisa mencapai Rp40 juta.(*)

Copyright © ANTARA 2006