Paris (ANTARA News) - Tiga puluh pesawat tempur Prancis hari Minggu menggempur pusat-pusat logistik dan pelatihan militan di Mali timurlaut, hanya beberapa jam setelah Presiden Francois Hollande mengunjungi negara itu.

Sejumlah jet tempur dan pesawat-pesawat mata-mata serta pengisi bahan bakar mengambil bagian dalam operasi besar tengah malam di daerah Tessalit sebelah utara Kidal, kata juru bicara militer Kolonel Thierry Burkhard kepada AFP.

Kidal adalah benteng terakhir kelompok militan yang menduduki wilayah gurun utara selama berbulan-bulan sampai pasukan Prancis melakukan intervensi kejutan.

Tessalit, yang berada di dekat perbatasan Aljazair, diyakini sebagai lokasi tempat penahanan tujuh warga Prancis yang diculik oleh militan.

Hollande memperoleh sambutan takjub di Mali pada Sabtu ketika ia berjanji pasukan Prancis akan berada di negara itu selama yang diperlukan untuk terus memerangi kelompok militan.

Ia mengatakan kepada Mali, sudah waktunya orang-orang Afrika memimpin misi itu namun Prancis tidak akan meninggalkan mereka.

Menteri Luar Negeri Mali Tieman Hubert Coulibaly berharap operasi militer Prancis akan terus berlangsung.

Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.

Sebanyak 3.500 prajurit Prancis saat ini sudah berada di daratan Mali.

Para pemimpin pertahanan kelompok negara Afrika Barat ECOWAS telah setuju meningkatkan jumlah pasukan yang dijanjikan untuk Mali menjadi 5.700.

Prancis menyatakan, 2.700 prajurit Afrika telah berada di daratan Mali dan di negara tetangganya, Niger.

Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.

Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.

PBB telah menyetujui penempatan pasukan intervensi Afrika berkekuatan sekitar 3.300 prajurit di bawah pengawasan kelompok negara Afrika Barat ECOWAS. Dengan keterlibatan Chad, yang telah menjanjikan 2.000 prajurit, berarti jumlah pasukan intervensi itu akan jauh lebih besar.

Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu.

Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.

Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja.

(M014)

Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013