Jakarta (ANTARA News) - Organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) akan kembali menegaskan komitmennya kepada ideologi Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam musyawarah nasional alim ulama di Surabaya, Jawa Timur, pada Juli 2006. Hal itu dikemukakan Ketua Umum Pengurus Besar NU, KH Hasyim Muzadi, di Jakarta, Senin, usai menjelaskan pelaksanaan Konferensi Cendekiawan Islam Internasional yang akan dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 20 Juni 2006. Hasyim mengatakan, sebenarnya sikap NU terhadap Pancasila, UUD`45 dan NKRI ditetapkan pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Jatim, tahun 1984 bahwa kesemuanya itu sebagai upaya final umat Islam Indonesia, sehingga tidak ada lagi negara dengan struktur dan konstruksi baru di Indonesia. Namun, ia mengemukakan, mengingat setelah era reformasi terjadi tarik-menarik mengenai ketiga prinsip tersebut, maka NU merasa perlu untuk kembali meneguhkan komitmennya. "Sejak Muktamar Situbondo dan selama masa Orde Baru relatif tidak ada persoalan dengan tiga hal tersebut. Namun, setelah era reformasi ada tarik-menarik, sehingga NU memandang perlu untuk menegaskan kembali komitmennya," kata Hasyim. Sebagai persiapan peneguhan komitmen itu, ia mengatakan, pada 24 Juni 2006 bertempat di Pondok Pesantren Mahasiswa Al Hikam, Malang, Jawa Timur, PBNU akan mengumpulkan sejumlah tokoh nasional lintas agama untuk memberikan masukan menyangkut Pancasila, UUD`45 dan NKRI. Terkait hubungan antar-agama (Islam) dengan negara, NU bersikap memberikan sumbangan berkenaan dengan nilai atau substansi agama tidak dalam bentuk formalisasi. Oleh karena itu, NU sendiri tidak pernah berfikir untuk melakukan syariatisasi undang-undang. NU, kata Hasyim, senantiasa mengembangkan Islam yang moderat yang berakar dari situasi domestik Indonesia, dan sama sekali tidak terkait dengan gerakan Islam internasional. Berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi dan Anti-Pornoaksi (RUU APP), PBNU tetap pada posisi mendukungnya karena dianggap sebagai bagian dari gerakan moral. Namun, ia mengemukakan, dalam penilaian NU, RUU APP harus menjaga keseimbangan antara moralitas dan kebhinnekaan. "Undang-undang tidak boleh menghilangkan pluralitas. Sebaliknya, atas nama pluralitas, moral juga tidak boleh dikorbankan," katanya. Oleh karena itu, NU meminta RUU APP tidak disikapi secara apriori baik oleh kelompok penolak yang memandang RUU APP seakan-akan mengarah kepada syariatisasi atau arabisasi, sedangkan pendukung RUU belum apa-apa sudah bersikap berlebihan, demikian Hasyim Muzadi. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006